Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
default-image.png
Default Image IDN

Jakarta, IDN Times - Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), M.R Karliansyah, mengatakan cuaca ekstrem menjadi faktor utama penyebab banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Dia mencontohkan curah hujan yang normal pada Januari sebesar 394 milimeter. Namun pada 9-13 Januari kemarin curah hujan mencapai 461 milimeter.

"Artinya 8-9 kali dari curah hujan yang normal," katanya dalam diskusi secara virtual yang digelar KLHK, Selasa (19/1/2021).

1. Kondisi infrastruktur ekologis sudah tidak memadai

Default Image IDN

Karliansyah juga mengatakan banjir di Kalimantan Selatan dengan ketinggian 0,5-1,2 meter terjadi sejak 10-17 Januari 2021 di 11 Kabupaten/Kota. Lokasi banjir berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.

"Kondisi infrastruktur ekologisnya, yaitu lingkungan pengatur air sudah tidak memadai. Sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk," katanya.

Karliansyah mengatakan tingginya curah hujan membuat volume air yang masuk ke sungai meningkat luar biasa.

"Kita mendapatkan hasil evaluasi bahwa sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume yang sangat besar tadi," katanya lagi.

2. Ada perbedaan besar pada bagian hulu dan hilir

Default Image IDN

Karliansyah melanjutkan, lokasi banjir Kalimantan Selatan umumnya berada di daerah yang datar, berpasir rendah, dan bermuara di laut. Hal itu menunjukkan daerah tersebut memiliki akumulasi air dengan tingkat drainase yang rendah.

"Di samping itu juga kami mencatat ada perbedaan yang sangat besar antara tinggi bagian hulu dan hilir. Sehingga, pasokan air dari hulu dengan energi dan volume yang besar tadi waktu konsentrasinya semakin cepat, jadilah genangan air banjir ini tadi," ujarnya.

3. Hutan alam di Kalimantan Selatan menurun hingga 62 persen

Situasi Banjir di Kalimantan Selatan pada Jumat (15/1/2021) (Dok. BNPB)

Karliansyah menyampaikan Kalimantan Selatan memiliki proporsi luas areal tidak berhutan sebesar 81,8 persen. Wilayah itu didominasi pertanian lahan kering campur semak sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen dan perkebunan 13 persen.

"Jadi kalau kita perhatikan dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutan alam itu sebesar 62,8 persen. (Penurunan) paling besar terjadi antara tahun 1990 sampai tahun 2000, sebesar 55,5 persen," katanya.

Karliansyah merekomendasikan pemerintah daerah melakukan sejumlah hal, seperti membuat bangunan konservasi tanah dan air, terutama di daerah yang limpasannya ekstrem, mempercepat dan memfokuskan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di daerah sumber penyebab banjir, membuat bangunan pengendali banjir dan mengembangkan kebijakan konservasi tanah dan air.

"Juga pengembangan sistem peringatan dini. Jadi sudah ada aplikasi misalnya untuk menentukan curah hujan," katanya.

Editorial Team