Dilansir Liputan6.com, terdapat empat tindakan Soni yang bertolak belakang dengan kebijakan Guberur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pertama adalah diberhentikannya sistem pelaporan Qlue. Namun, Soni menuturkan bahwa bukan pihaknya yang menghentikan pelaporan Qlue di RT dan RW tersebut.
Jadi saat menjabat di sini, sistem ini sudah berjalan dan untuk pelaporan tingkat RT dan RW sudah di-pending atau moratorium-lah. Berarti ini mungkin sudah menjadi kebijakan sebelumnya.
Kedua adalah penghapusan anggaran hibah untuk TNI-Polri dalam penyusunan APBD DKI Jakarta 2017. Akan tetapi, Soni kembali berkilah kalau hibah sebenarnya hibah tahun 2016 belum habis. Prinsip hibah sendiri adalah untuk lembaga non-pemerintahan sekali setahun
Adapun pada APBD 2016, hibah untuk Polda Metro Jaya mencapai Rp 41 miliar dan Kodam Jaya mencapai Rp 21 miliar. Selain itu, justru hibah untuk Bamus Betawi yang tidak ada dalam rencana Ahok diaktifkan lagi oleh Soni. Dirinya menganggarkan hibah Rp 2,5 miliar untuk Bamus Betawi pada APBD-P 2016. Kemudian, dalam KUA-PPAS 2017 ini mereka akan mendapat Rp 5 miliar.
Terakhir adalah keputusan Soni menghentikan sementara 14 proyek lelang dini yang dimulai pada era Ahok. Sejatinya, lelang dini dilakukan untuk mempercepat proses pengerjaan proyek sehingga program sudah bisa dieksekusi pada awal tahun.
Alhasil, kebijakan Soni ini pun menarik pertanyaan dari masyarakat. Bahkan, muncul petisi "Usut dan Pidanakan Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono atas Penyalahgunaan Wewenang". Petisi ini dibuat oleh Indra Krishnamurti di change.org. Hingga Kamis (19/1), petisi sudah mendapat lebih dari 20.000 dukungan. Petisi berisi permintaan agar Presiden Jokowi memberi teguran pada Soni. Soni dianggap tidak berwenang karena status sebagai Plt Gubernur.