IDN Times/Axel Jo Harianja
Di Indonesia, istilah people power mulai digunakan ketika rakyat berusaha menggulingkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Saat era Presiden Joko “Jokowi” Widodo, istilah ini mulai terdengar kembali ketika berlangsung pesta demokrasi.
Dimulai dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melakukan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Namun, dalam perjalanannya, wacana ini melempem, karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga kurang kompak. Internal PAN sendiri tidak setuju dengan wacana yang digaungkan Amien itu.
Teranyar, politikus PAN Eggi Sudjana juga menjadi tersangka lantaran kasus dugaan makar akibat ujaran people power. Dia menyebut inspirasi kata-kata tersebut berasal dari 2014 saat kontestasi pilpres dengan dua pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Justru people power ini dari 2014 dari kelompok Jokowi dan itu ada bukunya. Bisa dilihat di Gramedia," kata Eggi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5).
Menurut Eggi, buku tersebut menuliskan gerakan people power itu sering dihalangi para elite.
"Makannya apa yang di dalam buku ini saya sudah baca itu. Nah, saya ingat sekali omongan saya di depan rumah Prabowo saya katakan yang bikin berengsek ini para elite. Jadi kita jaga persatuan Indonesia, itu ada kalimat saya kalau gak dipotong," ujar dia dilansir Antara.
Di lain pihak, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan aksi people power saat ini tidak perlu dilakukan di Indonesia. Dia menilai gerakan bisa dilakukan jika memenuhi unsur-unsur seperti krisis ekonomi dan pemerintahan berjalan otoriter.
"Wacana digulirkan nya people power belum tepat waktunya karena tidak ada keadaan genting yang memaksa. Kalau dipaksakan maka yang rugi adalah rakyat Indonesia," kata Bamsoet usai menggelar buka puasa bersama di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin (13/5).
Selain Bamsoet, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyumas KH Sabar Munanto juga menanggapi rencana aksi people power ini. Dia mengimbau masyarakat tidak terprovokasi. Ia mengatakan pengerahan kekuatan massa itu merupakan cara yang bertentangan dengan sistem perundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.
"People power tidak relevan, pelaksanaan pemilu sudah ada aturan hukumnya. Kami berharap masyarakat dapat lebih dewasa menyikapi isu people power ini dan menyikapi perbedaan, karena perbedaan itu justru memperkaya bangsa dan negara ini," kata Sabar di Purwokerto, Banyumas, Selasa (14/5) dilansir Antara.
Sementara, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Agum Gumelar membandingkan seruan revolusi pada 1998. Menurut Agum, pada 1998, seruan revolusi diarahkan kepada rezim yang otoriter. Sementara, pemerintahan Jokowi berbeda.
Agum menjelaskan, revolusi hanya diarahkan kepada dua hal. Pertama, kepada kaum penjajah untuk merebut kemerdekaan. Dan kedua, pernyataan tersebut diungkapkan kepada rezim yang otoriter dan diktator, di mana mayoritas masyarakat Indonesia sangat tidak menyukai pemerintahan tersebut.
"Tapi kita lihat sekarang ini, dong. Pak Jokowi ini Presiden dengan pemerintahannya, di mata masyarakat kita, 70 persen lebih puas dengan apa yang dikerjakan," kata Agum di Komplek Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Sehingga, lanjut Agum, apabila ingin menggulirkan pemerintahan Jokowi dengan cara-cara seperti gerakan people power, tidak akan bisa. Berbeda pada 1998 yang mayoritas masyarakat mengungkapkan ketidakpuasan dengan kondisi saat pemerintahan Soeharto.