Semangat Tinggi Orang Rimba Belajar, Tapi Terganjal Tenaga Pengajar

Jakarta, IDN Times - Kementerian Sosial meresmikan community center untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Batanghari, tepatnya bagi Suku Anak Dalam (SAD) kelompok Temenggung Ngelembo yang bermukim di wilayah Sungai Terap, Desa Jelutih, Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, Jambi. SAD yang ada di wilayah ini, masih hidup dalam sudung-sudung atau pondok terpal.
Salah satu hal yang disoroti oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini atau Risma adalah akses pendidikan bagi anak-anak SDA atau orang rimba.
“Seringkali kan mereka berpindah-pindah, sebetulnya impact yang paling berat, sebenarnya ini terjadi di banyak suku Indonesia, suku yang di dalam itu akibatnya anak-anak sulit sekolah karena kemudian saat dia pindah anak diajak, sehingga kemudian anak-anak itu banyak yang putus sekolah dan sebagainya,” kata Risma saat mengunjungi SAD di Desa Sungai Terap, Rabu (16/3/2022).
1. Masuk usia dewasa orang rimba tak lagi belajar, apalagi perempuan
Fasilitator Pendidikan dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI-Warsi), Yohana Pamella Berliana Marpaung, mengabdikan dirinya untuk mengajar generasi penerus orang rimba. Perempuan 30 tahun asal Medan ini sudah berada di SAD Sungai Terap sejak 2018 sebagai bagian dari staf pendidikan.
Yohana mengatakan, selama mengajar di sana jumlah anak yang datang tak selalu menentu. Semakin dewasa anak orang rimba, mereka tak lagi pergi belajar.
“Masih banyak sekali yang belum terjangkau, terutama yang anak laki laki, kalau perempuan sebenarnya sudah banyak, tapi kalau sudah remaja, mereka sudah tidak lagi belajar,” kata dia saat mendampingi anak-anak orang rimba di community center, Rabu.
Dia mengatakan, salah satu alasan orang rimba tak lagi belajar karena masalah adat. Anak perempuan yang sudah remaja khawatirnya akan tersentuh guru laki-laki dan nantinya akan terkena denda adat. Bagi orang rimba, perempuan disebut dewasa bila sudah pubertas atau menstruasi.
“Sudah menstruasi sudah tidak belajar lagi,” kata Yohana.