Likuifaksi pasca gempa Palu. IDN Times/Rehuel Willy Aditya
Tak ada yang dikenal dan mengenal. Saya harus mencari teman baru setibanya di Poso, untuk melanjutkan perjalanan darat ke Palu. Mata ini terus memperhatikan orang-orang di sekitar saya, hingga akhirnya saya bertemu Lana di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar yang sedang menelepon istrinya di Palu.
“Aku sudah di Makassar, sebentar lagi pesawatku flight ke Poso. Nanti akan ada yang jemput di sana. Tunggu aku ya,” ucap Lana kepada istrinya melalui sambungan telepon yang terputus-putus.
Lana yang saya sapa "mas Lana" itu adalah pegawai Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) wilayah Palu. Sementara, saat gempa dan tsunami melanda Palu, lulusan STAN angkatan 2005 ini sedang melakukan perjalanan dinas di Jakarta.
Saya yang berada persis di sebelah Lana, langsung berbalik arah ke hadapan dia, untuk mengajak berkenalan. Tanpa pikir panjang, saya mengajak dia jalan bareng untuk melanjutkan perjalanan darat dari Poso ke Palu yang jaraknya kurang lebih 200 kilometer. Dengan senang hati, Lana mengiyakan ajakan saya.
Setibanya di Bandara Poso sekitar pukul 11.00 Wita, Lana yang sudah membuat janji dengan temannya tiba-tiba kehilangan komunikasi, karena jaringan telepon selular terganggu. Kami berdua terpaksa harus memutar otak untuk bisa melanjutkan perjalanan.
Hingga akhirnya kami bertemu Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Kabupaten Poso Rama Tandawuya yang juga hendak ke Palu untuk mencari istrinya di sana. Saat bencana melanda Palu, ia sedang dinas di Jakarta. Kami menumpang mobil Rama yang dijemput sopirnya.
Sepanjang perjalanan ke Palu, mata ini terus menyaksikan ribuan orang akan meninggalkan kota yang sudah luluh lantak dilanda gempa dan disapu gelombang tsunami itu. Sepeda motor dan mobil lalu lalang karena jalan penghubung antara Palu dan Poso sudah kembali normal dan bisa dilintasi. Takut bercampur sedih rasanya melihat wajah mereka.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, kami akhirnya tiba di Palu pukul 19.30 Wita. Kota ini terlihat seperti kota mati. Tidak ada listrik, gelap-gulita, rumah dan bangunan rata dengan tanah. Bahkan, saya melihat ada kapal nelayan terdampar di pinggir jalan, karena disapu gelombang tsunami yang begitu dahsyat.
Karena hari sudah malam, saya diajak Lana menginap di kompleks dinas pejabat BPKP untuk sementara waktu, sambil terus berkomunikasi dengan teman-teman media lain yang telah tiba terlebih dahulu. Saya pun disambut hangat oleh rekan-rekan kerja sebaya Lana, yang rata-rata orang asli Jakarta. Makanan dan minuman di tempat ini terjamin. Saya pun tidur di tenda yang telah disediakan.
“Fitang, kalau lo butuh apa-apa bilang aja, ya. Di sini ada temen-temen gue, nanti minta tolong mereka saja. Gue udah titipin lo ke mereka,” kata Lana, sembari berjabat tangan dan meninggalkan saya, karena harus menjemput istrinya yang sudah satu minggu ia tinggalkan.