Septia Pegawai Jhon LBF Bebas, Amnesty: Langkah Lawan Kriminalisasi

Intinya sih...
- Majelis Hakim membebaskan Septia Dwi Pertiwi dari tuduhan pencemaran nama baik terhadap pimpinan PT Hive Five Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.
- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bebasnya Septia sebagai kemenangan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
- Revisi UU ITE sebanyak dua kali belum cukup untuk menghentikan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan kasus ini merupakan salah satu dari 527 pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sejak 2019.
Jakarta, IDN Times - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Septia Dwi Pertiwi dari tuduhan pencemaran nama baik terhadap pimpinan PT Hive Five Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, Rabu (22/1/2025). Septia sebelumnya didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan dituntut hukuman satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Merespons bebasnya Septia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan ini adalah kemenangan bagi kita semua. Ancaman kriminalisasi yang dihadapi Septia sebagai seorang karyawan yang mengupayakan pemenuhan haknya sejatinya juga menjadi ancaman bagi kita semua.
"Karenanya kita patut merayakan kebebasan Septia sebagai kemenangan bersama, dan semoga ini menjadi penyemangat bagi kita semua untuk terus mendorong perubahan terhadap berbagai pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan berekspresi kita," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (23/1/2025).
1. Revisi UU ITE dua kali belum cukup untuk hentikan ancaman
Bebasnya Septia, kata Usman, jadi bentuk kemenangan penting bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama di tengah ancaman yang terus berlanjut akibat penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam suara warga yang menyuarakan ketidakadilan.
Dia mengungkapkan kasus ini menegaskan revisi UU ITE sebanyak dua kali belum cukup untuk menghentikan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
2. Kasus Septia bukanlah yang pertama
Usman mengingatkan, kasus Septia bukanlah yang pertama. Kasus serupa sebelumnya dialami oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang divonis tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 8 Januari 2024, serta Daniel Frits Tangkilisan, yang divonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang pada 21 Mei 2024.
Putusan-putusan ini, kata Usman, harus menjadi momentum bagi negara agar merevisi UU ITE yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menggunakan hak mereka untuk berekspresi secara damai.
3. Negara harus melindungi hak-hak pekerja
Negara, kata dia, harus memastikan UU ITE tidak lagi digunakan untuk membungkam suara warga, terutama mereka yang berpendapat secara damai. Dia mengatakan, negara harus dorong pemberi kerja untuk buka dialog dan selesaikan kasus ketenagakerjaan.
"Negara harus melindungi hak-hak pekerja untuk menyuarakan pelanggaran atas hak-hak mereka tanpa takut dikriminalisasi. Negara juga harus mendorong pemberi kerja untuk membuka ruang dialog dan menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan tanpa merepresi setiap pekerja melalui UU ITE," katanya.
Kasus ini bermula dari kritik Septia di media sosial terhadap PT Hive Five pada Januari 2023 terkait dugaan pelanggaran hak karyawan. Laporan dari Henry Kurnia Adhi atau Jhon LBF, pemilik perusahaan, membuat Septia ditahan selama 25 hari sebelum ditetapkan sebagai tahanan kota.
Amnesty International Indonesia mencatat kasus ini sebagai bagian dari 527 pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sejak 2019. JPU menyatakan masih pikir-pikir terkait putusan hakim, sementara berbagai pihak mendesak revisi UU ITE agar tidak lagi digunakan untuk membungkam kritik.