Bekas markas militer Belanda (IDN Times/Imron)
Dikutip dari laman Kemendikbud, setelah Sukarno dan Hatta diasingkan, Belanda sering mengumandangkan pemberitahuan melalui radio bahwa Pemerintahan RI sudah tidak ada, termasuk juga tentara Indonesia.
Tindakan Belanda tersebut menjadi pemicu utama lahirnya Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendengar melalui siaran BBC bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan membahas konflik Indonesia–Belanda pada bulan Maret 1949. Bagi Sri Sultan, kabar ini menjadi momentum penting bagi perjuangan Indonesia.
Sebelum sidang PBB dimulai, dunia internasional harus mendengar kejutan besar dari TNI, yakni sebuah tindakan militer yang mampu membuktikan keberadaan Republik Indonesia dan kekuatan militernya. Usulan Sri Sultan untuk melakukan penyerangan disetujui oleh Jenderal Sudirman dan Letnan Kolonel Soeharto.
Di sisi Lain, untuk mempertahankan eksistensi negara, Mr. Sjafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat pada 22 Desember 1948.
Akhirnya pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 pagi, tepat setelah sirine penanda berakhirnya jam malam berbunyi, seluruh pasukan TNI di bawah komando Letkol Soeharto menyerang secara serentak dari berbagai arah. Hingga akhirnya pasukan TNI berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam, sampai sekitar pukul 12.00 siang, TNI mulai ditarik keluar kota karena pasukan Belanda menguat.
Setelah menerima kabar itu, Sjafruddin Prawiranegara memerintahkan agar berita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 disiarkan melalui Radio Rimba Raya yaitu radio milik Divisi X TNI yang berlokasi di Kabupaten Bireuen, Aceh. Dari sana, berita tersebut dikirim langsung ke radio di Burma (sekarang Myanmar). Kemudian, melalui siaran radio Burma, berita mengenai Serangan Umum 1 Maret diterima oleh All India Radio di New Delhi, India.
Dari India, kabar tentang Serangan Umum itu menyebar ke seluruh dunia. Dengan tersebarnya berita tersebut, masyarakat internasional menyadari bahwa Republik Indonesia masih ada dan terus berjuang. Akibatnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil menekan Belanda untuk menghentikan ofensif militernya dan memerintahkan pengembalian Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta para pemimpin lainnya ke Yogyakarta. Selain itu, PBB juga meminta Belanda dan Indonesia untuk kembali ke meja perundingan guna membahas masa depan Indonesia.