Sementara itu, saat disinggung mengenai kasus penyelidikan pengelolaan investasi BPJS Ketenagakerjaan, kedua pihak serikat buruh menjunjung asas praduga tak bersalah dan mendukung proses hukum yang sedang berlangsung.
“Proses hukum ini harus dilakukan secara clear dan harus ada kejelasan duduk persoalannya dari Kejaksaan Agung. Kalau ada kejelasan, maka tidak akan ada prasangka buruk dari para peserta,” tegas Hermanto.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melakukan penyidikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan perihal dugaan perkara tindak pidana korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi. Pada Agustus hingga September 2020, BPJS Ketenagakerjaan mengalami unrealized loss mencapai Rp43 triliun. Selanjutnya pada akhir Desember 2020 menurun jadi Rp 22,31 triliun, dan pada Januari 2021 unrealized loss sebesar Rp 14,42 triliun.
Akan tetapi, menurut pandangan pakar ekonomi Roy Sembel, unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa disamakan dengan kasus PT Jiwasraya (Persero). Ia menilai, unrealized loss masih wajar dan merupakan bagian dari risiko investasi saham di pasar modal.
“Bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah pandemik COVID-19. Unrealized loss ini tidak logis jika dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” tutupnya. (CSC)