Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat P2P pada 15 Januari 2018 kasus campak dan rubella (Januari hingga Juli 2017) terbilang tinggi. Setelah dilakukan imunisasi, jumlah kasus campak dan rubella menurun.
Pada Januari dan Juli 2017, kasus campak di Januari mencapai 449 orang, dan rubella mencapai 147 orang. Selain itu, kasus campak pada Juli 2017 mencapai 98 orang dan rubella mencapai 143 orang. Pada Agustus, kasus campak mencapai 52 orang dan rubella 34 orang, sementara pada Desember kasus campak hanya 6 orang dan rubella hanya 3 orang.
Dalam periode 2 tahun, cakupan imunisasi campak dan rubella mencapai 87,33 persen. Namun, cakupan imunisasi di luar Jawa keseluruhan baru mencapai 72,79 persen. Bahkan secara rinci masih ada provinsi dengan cakupan kurang dari 50 persen, yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Riau.
Pada 2018, terjadi penolakan imunisasi di beberapa daerah lantaran vaksin MR disebut mengandung babi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhirnya mengeluarkan fatwa terkait penggunaan vaksin MR. Hal itu tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Vaksin MR dari Serum Institute of India (SII) untuk Imunisasi.
Penggunaan Vaksin MR produk dari SII dibolehkan (mubah) dengan syarat ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, dan ada keterangan dari ahli yang kompeten tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, pada 2015 cakupan imunisasi secara nasional mencapai 86,5 persen, pada 2016 mencapai 91,6 persen, dan pada 2017 mencapai 92,4 persen.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menunjukkan sebesar 57,9 persen. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan Riskesdas 2013 sebesar 59,2 persen.