Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Jakarta, IDN Times – Di bagian akhir pembacaan nota pembelaan, terdakwa Setya Novanto membacakan sebuah puisi dalam sidang lanjutan pada Jumat (13/4) di Pengadilan Tipikor. Puisi itu dibuatkan oleh Linda Djalil dan diberi judul "Di Kolong Meja". 

Kalau disimak, puisi yang dibacakan Novanto seolah menggambarkan situasinya saat ini. Penasaran? Berikut isi puisinya:

1. Di kolong meja ada debu yang belum tersapu

Default Image IDN

Novanto membuka kembali beberapa lembaran. Ia mulai membacakan puisi dari Linda Djalil bait demi bait.

“Sebelum saya tutup, saya mau baca puisi, izinkan saya baca puisi 1 menit. Ini puisi dari Linda Djalil,” kata Novanto dengan suara bergetarnya.

Ia pun mulai membacakan puisi tersebut. Bait demi bait isi puisi yang dibacakan Novanto seperti berikut:

Di kolong meja ada debu

yang belum tersapu

karena pembantu sering pura-pura tak tahu...

Di kolong meja ada biangnya debu

yang memang sengaja tak disapu

bersembunyi berlama-lama

karena takut dakwaan seru

melintas membebani bahu....

2. Di kolong meja tersimpan cerita seorang anak

Default Image IDN

Di kolong meja tersimpan cerita

seorang anak manusia menggapai hidup gigih dari hari ke hari

meraih ilmu dalam keterbatasan

untuk cita-cita kelak yang bukan semu tanpa lelah dan malu

bersama debu menghirup udara kelabu...

 

Di kolong meja muncul cerita sukses anak manusia

yang semula bersahaja

akhirnya bisa diikuti siapa saja

karena cerdas caranya bekerja....

3. Di kolong meja ada lantai yang mulus dan bergelombang

Default Image IDN

Di kolong meja ada lantai yang mulus tanpa cela

ada pula yang terjal bergelombang

siap menganga menghadang segala cita-cita

apabila ada kesalahan membahana...

Kolong meja siap membelah

menerkam tanpa bertanya

bahwa sesungguhnya ada berbagai sosok yang sepatutnya jadi sasaran....

4. Di kolong meja ada pecundang yang bersembunyi

Default Image IDN

Di kolong meja ada pecundang

yang bersembunyi sembari cuci tangan cuci kaki

cuci muka

cuci warisan kesalahan..

 

Apakah mereka akan senantiasa di sana

dengan mental banci berlumur keringat ketakutan

dan sesekali terbahak melihat teman sebagai korban menjadi tontonan?

 

Editorial Team