Bendera PDI Perjuangan (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Dalam pandangannya fraksi PDIP, Arteria menjelaskan, partainya ingin pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup karena menilai peserta pemilu yang memilih anggota legislatif adalah partai politik. Hal itu sesuai dengan payung hukum yang diakomodir dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.
"Ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Dengan demikian, amat terang dan jelas, parpol lah yang terlibat sangat aktif. Tidak hanya berperan, serta namun juga berkompetisi sebagai konsekuensi logisnya maka parpol yang seharusnya memiliki dan diberikan kewenangan untuk menentukan formasi tim, pasukan-pasukan terbaiknya dalam ajang kompetisi pesta demokrasi," kata Arteria.
Arteria menilai, permohonan uji materi UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka di MK sebagai keputusan yang tepat. Karena menyangkut sejumlah prinsip dasar yang layak iterima, diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh majelis hakim MK.
Arteria lantas mempertanyakan, apakah sistem proporsional terbuka yang sudah dilaksanakan di tiga pemilu terakhir sudah memenuhi berbagai prinsip pemilu yang diharapkan.
"Sejak penerapan sistem proporsional terbuka, ternyata dalam praktiknya timbul berbagai dinamika yang tidak diharapkan," kata Arteria.
Dia menjelaskan beberapa temuan PDIP ketika pemilu digelar dengan sistem proporsional terbuka. Menurutnya, sistem tersebut memperumit jalannya pesta demokrasi, di mana mengharuskan lembaga penyelenggara pemilu kerja dengan berbagai tekanan.
Arteria mengungkit soal meningkatnya durasi waktu dan beban kerja bagi petugas penyelenggara dan pengawas pemilu di lapangan karena banyaknya pilihan nama caleg yang harus dicermati di surat suara.
Sistem proporsional terbuka membuat kebutuhan SDM jadi sangat gemuk, begitu pula kebutuhan-kebutuhan lain akan sarana dan prasarana, termasuk alat peraga kampanye, yang diklaim berimplikasi terhadap meningkatnya biaya pemilu. Semua hal yang disebut terjadi akibat penerapan sistem proporsional terbuka ini dianggap menjadi beban negara.
"Sebagai contoh, fraksi PDIP menyampaikan berbagai temuan, diperlukan waktu dan tenaga SDM yang lebih untuk melakukan rangkaian proses administrasi, pencetakan surat suara masing-masing daerah, kesulitan pemilih khususnya bagi pemilih yang tidak cukup memadai pengetahuan politiknya," tutur dia.
"Tidak hanya menjadi beban negara saja, namun juga menjadi beban parpol maupun para caleg, hal tersebut menjadi bibit lahirnya koruptif para wakil rakyat," sambung dia.