Kondisi Nagari Salareh Aie usai dihantam banjir bandang (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)
Menurut Board of Experts Prasasti Center for Policy Studies, Arcandra Tahar, siklon tropis yang melintasi wilayah utara Indonesia perlu dipahami dalam konteks ilmiah jangka panjang.
“Jika kita melihat data lintasan badai selama 150 tahun, Sumatra bagian utara hingga Selat Malaka memang pernah dilintasi tropical storm. Ini menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan bagian dari return period alam. Kejadiannya dapat berulang setiap beberapa puluh tahun,” kata Arcandra dalam keterangan tertulis, Kamis.
Berdasarkan skala Saffir–Simpson, peristiwa ini termasuk tropical storm karena kecepatan anginnya berada di kisaran 35–40 mph, atau lebih kuat dibanding tropical depression, tetapi belum mencapai kategori typhoon atau hurricane.
"Untuk memitigasi bencana dalam kondisi ekstrem, analisa meteorologi dan oseanografi dengan return period 100 tahun kita gunakan untuk mendesain bangunan laut dan pantai. Siklon tropis baru-baru ini adalah pengingat bahwa Indonesia perlu memastikan ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat di semua tingkatan yang menyesuaikan situasi terbaru ini,” ujarnya.
Arcandra juga menekankan, perubahan iklim hanyalah salah satu variabel yang memengaruhi dampak bencana. Perubahan iklim bisa memperkuat intensitas kejadian ekstrem, tetapi faktor-faktor lokal seperti kerentanan Daerah Aliran Sungai (DAS), degradasi hutan, dan konversi lahan sangat menentukan besarnya dampak.
"Negara yang terbiasa menghadapi badai seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Filipina, menunjukkan disiplin tata ruang, konservasi lingkungan, serta kesiapsiagaan masyarakat sama pentingnya dengan teknologi meteorologi," kata dia.