Jakarta, IDN Times - Dari ujung telepon Zainal terdengar menarik napas. Beberapa detik ia terdiam dan kemudian melanjutkan ceritanya. Kampung halamannya, sebuah desa di bawah kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, NTB, yang bernama Desa Montong Betok, baru saja selesai menggelar pemilihan kepala desa pada Mei 2023 lalu.
"Kalau di sini pemilihan kepala desa itu panas, lebih panas daripada pemilihan presiden atau pemilihan legislatif," kata bapak dua anak itu kepada IDN Times, Senin (27/11/2023).
Meski demikian, kata Zaenal yang kini berusia 55 tahun, warga di kampungnya saat ini sudah kembali beraktivitas normal. Tak ada lagi selisih paham, gontok-gontokan, apalagi sampai konflik dan terbelah gegara beda pilihan. Persilihan hanya tersisa di kalangan para kandidat kades saja, yang tidak terima dengan kekalahan mereka.
"Ada (kandidat kades) yang sampai 3-4 bulan gak saling tegur, sampai main polisi, saling lapor. Tapi kita warga, tim sukses (timses), pendukung sudah biasa-biasa saja," lanjut Zaenal yang sehari-hari berdagang alat pancing.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi saat Pemilihan Presiden 2019 lalu. Di Kampung Zaenal, capres yang menang saat itu, Prabowo Subianto. Bahkan Prabowo menang telak dari Joko Widodo atau Jokowi. Zaenal sendiri mengaku memilih Prabowo saat itu. Pilihan ini berseberangan dengan pamannya yang merupakan tim sukses Jokowi.
Pada Pilpres 2019, ujar Zainal, meski tensinya tidak setinggi saat pemilihan kepala desa (pilkades), tetap saja masing-masing pendukung capres berusaha saling mempengaruhi, saling sindir, dan adu argumentasi untuk merebut suara terbanyak. Termasuk juga membawa-bawa nama tokoh agama dan mengatasnamakan agama saat berkampanye.
"Sampai ada timses yang datang bawain kita baju, tapi ya kita gak mau, bukan pilihan kita," ungkap Zaenal.
Tapi, gontok-gontokan selama pemilu dan pilkades tidak dibiarkan terjadi berlarut-larut oleh warga Montong Betok. Menurut Zaenal yang mengaku sebagai timses salah satu caleg di Pemilu 2024 ini, di kampungnya ada kebiasaan saling berkunjung antarwarga yang berbeda pilihan untuk meredakan tensi dan mencairkan kembali suasana.
"Kita silaturahmi, saling kunjungi. Ya, kadang bikin acara makan-makan pas malam minggu," ujarnya.
Saat kunjungan atau silaturahmi itu, warga biasanya mencairkan suasana dan menguatkan kembali hubungan kekeluargaan dan pertemanan yang sempat retak. Meskipun terkadang masih ada saling sindir soal pilihan.
"Biasa saling sentil, tapi silaturahminya masih kuat di sini. Itu yang kita jaga. Jadi perbedaan itu ya sudah selesai, biasa lagi," ungkapnya.
Memperkuat silaturahmi dengan saling mengunjungi, membuat warga Montong Betok tetap bersatu dalam nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi, dan terhindar dari perpecahan atau polarisasi yang dipicu perbedaan atau pun politik identitas saat pemilu.
Bahkan, ujar Zaenal, dialah yang berkunjung atau bersilaturahmi duluan ke rumah pamannya, meski jagoannya menang telak lawan Jokowi di desa mereka, demi mencegah perselisihan dan perbedaan terjadi berlarut-larut.
Di Sumatra Utara, khususnya Kabupaten Deli Serdang dan Padang Lawas Utara, masyarakatnya juga memiliki cara tersendiri untuk merawat kebangsaan dan demokrasi, dan mencegah terjadinya perpecahan gegara beda pilihan saat pemilu.
Ahmad Harahap, yang berasal dari Padang Lawas namun kini tinggal di Deli Serdang mengungkapkan, memilih menghindari bicara soal politik dan pemilu saat bertemu orang yang beda pilihan dengannya. Apalagi orang yang membawa-bawa nama agama dan tokoh berpengaruh untuk mempengaruhi orang lain agar memilih tokoh yang sama.
"Kalau ketemu ya senyum-senyum aja. Lebih baik diam saja, artinya kita sudah ada pilihan, ngapain kita berdebat-debat, toh nanti malah jadi pertengkaran," ujar Ahmad saat dihubungi IDN Times, Senin (27/11/2023).
Cara lainnya yang sering digunakan masyarakat di kampungnya agar tak terjadi perselisihan dan perpecahan, lanjut Ahmad, yakni membungkus omongan soal pemilu atau politik dengan lelucon atau menjadikannya sebagai guyonan.
"Misalnya kita sindir ke mereka yang bukan pendukung Jokowi tapi menikmati hasil Jokowi, 'enak kali ada jalan tol Jokowi'," ujar Ahmad sambil tertawa.
Meski berisi sindiran, namun karena dikemas dengan humor, membuat masyarakat lebih santai menghadapi perbedaan pilihan dalam pemilu.
Tak hanya itu, kebiasaan lainnya yang juga manjur menyatukan masyarakat, kata Ahmad, pesta adat. Pada Pemilu 2019, ujar pria 45 tahun ini, memang sempat terjadi kelompok pengajian di kampungnya Padang Lawas Utara pecah gegara beda pilihan. Namun perpecahan itu tak berlangsung lama, karena warga disatukan lagi dengan pesta adat.
"Biasanya di pesta-pesta adat seperti pesta perkawinan kita bertemu, yang Islam, yang Kristen kumpul di pesta. Kadang saling sindir tapi sambil lucu-lucuan, selepas pesta tidak ada masalah lagi," ungkap Ahmad.
“Kalau adat kan sama aja, kita satu keturunan nenek moyang, yang beda hanya yang satu makan babi, yang satu makan kerbau, yang satu nyanyi-nyanyi, yang satu ngaji,” lanjut Ahmad menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi di kampungnya akan disatukan kembali oleh persamaan adat istiadat.
Ahmad yang bekerja sebagai karyawan swasta di Medan mengungkapkan, masyarakat sudah sadar tidak mau berantem gara-gara kepentingan para elite.
Eva yang tinggal di Blitar, Jawa Timur juga mengungkapkan bahwa pemilu itu hanya sesaat. Sementara pertemanan dan persaudaraan itu selamanya. Eva seorang penulis lepas yang berasal dari Sukabumi tapi kini tinggal di Blitar mengungkapkan, saat Pemilu 2019 dia mendukung Jokowi. Sementara banyak kakak dan keluarga besarnya di Sukabumi merupakan pendukung garis keras Prabowo.
Agar tak menimbulkan perpecahan karena beda pilihan, saat bertemu atau kumpul dengan keluarga, dia dan keluarganya tidak membicarakan politik, apalagi menyanjung-nyanjung tokoh yang didukung di depan orang yang berbeda pilihan.
"Kalau menang kita juga gini-gini aja, buat apa ngotot-ngototan, saling memahami aja," ujar perempuan 44 tahun itu.
Saling memahami, menghargai, dan tidak mengejek juga menjadi kunci yang digunakan Cakno untuk menghindari perselisihan berkepanjangan akibat beda pilihan dalam pemilu. Cakno mengungkapkan, pada Pemilu 2019 dia sangat merasakan politik identitas baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya.
Laki-laki 48 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat ini mengaku, di media sosialnya saat itu banyak berseliweran doktrin-doktrin yang membawa-bawa agama untuk memilih capres tertentu.
Tapi dia tak mau meladeni. “Percuma buat apa diladenin, karena kalau sudah bawa agama itu doktrinnya kuat, kalau diterusin bisa baku hantam,” ujarnya kepada IDN Times, Selasa (28/11/2023).
Begitu juga di kehidupan nyata. Dia mengaku berbeda pilihan dengan teman dekatnya di kantor tempanya bekerja. Agar tak terjebak dalam perselisihan gegara beda pilihan, dia memilih menghindari topik pembicaraan soal pemilu dan politik, atau menjadikannya sebagai guyonan.