Jakarta, IDN Times – Saat Soeharto berkuasa, tidak pernah terbesit di benak para menteri untuk menolak keinginan Sang Penguasa Orde Baru. Diangkat menjadi menteri ibarat rezeki nomplok, bahkan sampai hari ini, 21 tahun setelah Reformasi Mei 1998.
Tapi, kejelian membaca situasi membuat 14 menteri di kabinet Soeharto memberanikan diri mengirimkan surat kepada Presiden yang berencana melakukan reshuffle, pula membentuk Komite Reformasi.
Letnan Kolonel TNI AU K. Inugroho, asisten Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri Ginandjar Kartasasmita, harus menembus penjagaan ketat di seputar Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, kediaman pribadi Presiden Soeharto.
Hari sudah gelap, pada 20 Mei 1998.
“Saya mengontak ajudan yang kebetulan sesama Angkatan Udara, untuk menyerahkan surat yang ditandatangani 14 menteri Kabinet Pembangunan VII,” kata Inugroho kepada penulis yang mewawancarainya untuk Rappler, Selasa 17 Mei 2016.
Ajudan presiden berkoordinasi dengan komandan pasukan pengamanan presiden, lalu mengirim mobil menjemput Inugroho.
Inugroho yang purnawirawan bintang dua TNI AU itu kini aktif sebagai salah satu wakil ketua umum di pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ia adalah saksi mata proses pembuatan surat yang menyatakan menolak untuk bergabung dengan Kabinet Reformasi, yang akan dibentuk Soeharto sesuai janji dalam jumpa pers sehari sebelumnya, 19 Mei 1998.
Soeharto berharap dengan membentuk kabinet baru, tuntutan agar dia lengser melunak.