Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Jakarta, IDN Times - Menjelang pelaksanaan Pemilu pada 17 April mendatang, sekelompok masyarakat mendeklarasikan diri sebagai golongan putih (Golput). Mereka mengaku keputusan untuk tidak memilih salah satu pasangan calon--baik Joko 'Jokowi' Widodo dan Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno--dilatarbelakangi rasa kecewa.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi golput sebagai ekspresi protes karena tak ada pasangan kandidat yang bebas korupsi, tak merampas ruang hidup rakyat, dan tak tersangkut kasus HAM maupun diskriminasi terhadap minoritas.

1. Golput di Indonesia sudah ada sejak awal Orde Baru berkuasa

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Sebenarnya, golput bukan hal baru. Dalam buku Indonesian Politics and Society: A Reader dijelaskan, golput sudah ada menjelang pemilu 1971. Salah satu inisiatornya adalah Arief Budiman (Soe Hok Djin) yang merupakan kakak dari Soe Hok Gie, mendiang aktivis mahasiswa Universitas Indonesia.

Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia sedang dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Berbagai figur dan kelompok berupaya mencari bentuk pemerintahan yang tepat. Sebagian menolak sistem otoriter yang sempat diadopsi Sukarno ketika memimpin Indonesia.

2. Golkar dan Soeharto jadi tokoh antagonis yang memunculkan bibit kekecewaan masyarakat

Editorial Team

Tonton lebih seru di