Direktur SRMC, Ade Armando, mengaku terkejut ketika mengetahui hasil riset yang dilakukan oleh timnya. Padahal, di riset itu juga ditemukan bahwa sebanyak 53,3 persen responden tidak akan menerima anggota keluarga yang ternyata diketahui memiliki orientasi seksual LGB dan transgender.
Namun, dari data yang dikumpulkan, mereka yang bersedia menerima LGBT datang dari kalangan generasi millenials. Data pada Maret 2016 menunjukkan sebanyak 51,1 persen anak-anak berusia kurang dari 21 tahun bersedia menerima dengan tangan terbuka.
"Ini memang era pencerahan dan dialog-dialog harus dipelihara mengenai hal ini. Orang harus mulai dilatih bahwa ada beragam cara pandang dan informasi (dalam melihat LGBT)," ujar Ade yang ditemui usai pemaparan hasil survei bertajuk "Kontroversi Publik Tentang LGBT di Indonesia" pada Kamis (25/1).
Melihat data tersebut, Ade mengaku lebih optimistis terhadap Bangsa Indonesia karena pergeseran pola pikir itu tidak hanya berdampak pada LGBT, tapi juga isu keberagaman lainnya.
"Dengan begitu, pola pikir yang dulunya menyebut kalau rakyat Indonesia menolak LGBT bisa dipatahkan dengan mudah, karena data yang diperoleh di lapangan justru sebaliknya," kata Ade.
Dari data itu pula, diketahui responden yang merupakan suku Minang paling keras menentang keberadaan LGBT. Sebanyak 55,6 persen menganggap LGBT tidak berhak hidup di Indonesia. Sementara, sebanyak 72,9 persen responden yang bermukim di Jawa Timur justru berpendapat sebaliknya.
Sayang, tim Ade tidak menelusuri lebih jauh mengapa suku dan daerah tersebut yang paling pro dan menolak keberadaan LGBT.