Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi beras (dok. Bulog)
Ilustrasi beras (dok. Bulog)

Intinya sih...

  • Soroti lemahnya pengawasan distribusi beras

  • Pembenahan tata kelola pangan harus menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

  • Meningkatkan keterbukaan informasi dalam proses pengelolaan beras

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkap adanya potensi kerugian negara hingga Rp3 triliun akibat tata kelola beras yang dinilai belum optimal. Hal ini akan memunculkan efek domino, yang berdampak terhadap masyarakat luas.

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Eka Widodo, mendukung penuh Ombudsman dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dan berbagai bentuk maladministrasi.

“Apa yang diungkapkan Ombudsman ini sangat penting sebagai peringatan bagi pemerintah untuk segera membenahi tata kelola beras nasional,” ujar Edo kepada jurnalis, Senin (17/11/2025).

1. Soroti lemahnya pengawasan distribusi beras

Eka menyatakan, temuan Ombudsman RI menunjukkan masih adanya sejumlah persoalan pengelolaan beras nasional. Antara lain minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola beras.

Lemahnya pengawasan dan pengendalian distribusi beras nasional, potensi penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi, serta potensi adanya keterlambatan dalam proses pengadaan hingga pendistribusian beras.

Menurut dia, akibat tata kelola yang tidak optimal ini, akan berdampak terhadap potensi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. Selain itu, distribusi beras ke masyarakat menjadi terlambat, harga beras mengalami kenaikan dan sulit dikendalikan, akses masyarakat terhadap beras berkualitas menjadi terbatas, dan gangguan pada infrastruktur pertanian dan rantai distribusi.

"Jadi, yang dirugikan tidak hanya negara, tapi masyarakat yang paling dirugikan dengan tata kelola beras yang buruk," kata dia.

2. Perbaikan tata kelola beras harus jadi agenda utama

Dirut Bulog Ahmad Rizal Ramdhani (IDN Times/Aryodamar)

Eka menegasksn, pembenahan tata kelola pangan, khususnya beras harus menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia juga mendorong, pemerintah dapat memperkuat mekanisme pengawasan, meningkatkan keterbukaan informasi, serta menutup ruang penyimpangan dalam seluruh proses pengelolaan beras.

“Dukungan terhadap Ombudsman RI adalah bagian dari komitmen kami untuk memastikan pelayanan publik yang bersih, profesional, dan berpihak kepada rakyat. Ini langkah penting dalam memastikan keamanan pangan nasional sekaligus melindungi keuangan negara,” kata dia.

3. Tata kelola beras belum optimal, potensi kerugian negara Rp3 triliun

Ilustrasi stok beras di Gudang Bulog.(IDN Times/Vadhia Lidyana)

Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 3 September 2025, Ombudsman mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog sebanyak 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari 6 bulan.

"Kondisi ini berpotensi menimbulkan disposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," kata anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika, dilansir ANTARA, Senin (17/11/2025).

Selain itu, dia mengatakan, realisasi penyaluran Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton atau jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.

Yeka turut menyoroti realisasi bantuan pangan beras yang baru mencapai 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Baik SPHP maupun bantuan pangan, belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Ombudsman menilai, kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabah kualitas apa pun, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah.

"Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun," kata dia.

Kondisi tersebut dapat membuka ruang terjadinya malaadministrasi, dengan potensi terhadap risiko disposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.

"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujarnya.

Editorial Team