Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Jakarta, IDN Times - Selalu ada yang baru dalam sidang kasus upaya merintangi penyidikan dengan terdakwa advokat Fredrich Yunadi. Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Kamis (22/02), Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tanggapan dari nota keberatan yang telah disampaikan pengacara berusia 60 tahun. 

Uniknya ada dua nota keberatan yang disampaikan oleh pihak Fredrich. Surat keberatan pertama dibacakan oleh kuasa hukum Sapriyanto Refa dengan tebal 22 halaman. Lalu, surat keberatan juga disampaikan sendiri oleh Fredrich dengan tebal 36 halaman. 

Tetapi usai JPU membacakan tanggapannya, mantan kuasa hukum Setya Novanto itu masih saja merasa tidak puas. Kali ini ia kembali menyampaikan keluhan kepada majelis hakim. Apa saja keluhan yang membuat Fredrich menjadi galau? 

1. Dilecehkan mengenakan rompi bertuliskan tahanan KPK

Default Image IDN

Fredrich mengaku tidak habis pikir mengapa ia yang merupakan tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi malah dibiarkan mengenakan rompi oranye dengan tulisan "Tahanan KPK". Ia mengaku merasa telah dilecehkan baik secara harkat, martabat dan membuat malu. 

"Saya ini secara resmi adalah tahanan pengadilan. Lalu, saya sengaja dilecehkan dengan disuruh mengenakan rompi berwarna oranye dengan tulisan 'Tahanan KPK'. Jadi sesungguhnya itu saya tahanan KPK atau majelis hakim?" kata dia di hadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Saifudin Zuhri.

Ia merujuk ke UU nomor 48 tahun 2009 pasal 8 mengenai kekuasaan kehakiman. Di sana tertulis seseoramg tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, tidak adil kalau publik sudah menghakiminya bersalah karena ia mengenakan rompi oranye tersebut.

"Kalau saya tidak bersalah, apakah pantas saya diperlakukan seperti ini? Pikir dong," kata Fredrich. 

Sementara, menurut jaksa penuntut umum Moch Takdir Suhan, apa yang mereka lakukan hanya mengikuti prosedur yang ada di dalam hukum. Lagipula tujuan penggunaan rompi itu selain untuk memberikan sanksi sosial juga sebagai tanda bahwa yang bersangkutan berstatus tahanan. 

"Selain itu, sesuai dengan penyampaian dari Ketua Majelis Hakim, walaupun status tahanan adalah tahanan Majelis Hakim, namun aturan yang diberlakukan kepada tahanan tetap mengacu ke rutan tempat yang bersangkutan ditahan," ujar Takdir yang dihubungi melalui pesan pendek oleh IDN Times pada hari ini.

Karena di lembaga anti rasuah, setiap tahanan diwajibkan mengenakan rompi oranye tersebut, maka aturan yang sama juga diterapkan bagi Fredrich. 

2. Dilarang berobat

Default Image IDN

Hal lain yang dikeluhkan Fredrich yakni mengenai izin dari penyidik dan lembaga anti rasuah yang sulit diperoleh untuk bisa berobat. Ia mengaku saat ditangkap KPK pada (13/01/2018) lalu, ia tengah berada di RS Medistra. 

"Saat itu padahal dokter yang memeriksa saya Prof Santoso mengatakan secara jelas bahwa saya harus kembali lagi ke rumah sakit itu dalam kurun waktu antara 7-15 hari. Tapi, ketika kami mengirimkan surat ke penyidik untuk meminta izin berobat, kami malah dilecehkan," kata dia. 

Fredrich memohon kepada majelis hakim agar diizinkan untuk berobat kembali ke rumah sakit yang sama.

"Saya ini sudah pasang 15 ring di jantung dan harus minum 9 jenis obat. Di mana 6 obat itu sulit dicarinya. Belum lagi kondisi tensi bisa naik atau turun drastis dari 120 menjadi 50," katanya.

Permohonan itu ditanggapi Hakim Saifudin secara proposional. Ia mengatakan akan memberikan izin bagi Fredrich berobat kalau memperoleh rekomendasi dan izin dari rutan tempat penahanan.

"Sesuai dengan PP nomor 32 tahun 1992, sebelum berobat, maka harus mendapat rekomendasi dari dokter yang menahan. Selain itu, berdasarkan PP nomor 58 tahun 1999, rutan tempat penahanan juga harus memberi izin," kata dia. 

JPU pun tidak mempermasalahkan permintaan tersebut, karena sudah ada rekomendasi dari dokter KPK.

"Tapi, nanti harus dijelaskan Yang Mulia, siapa dokter yang akan menangani, di rumah sakit mana dan jadwalnya jam berapa," kata jaksa yang membutuhkan informasi itu untuk koordinasi.

3. Akses bertemu keluarga dibatasi

Default Image IDN

Hal lain yang dikeluhkan Fredrich yakni akses bertemu dengan keluarga yang dibatasi oleh KPK. Ia mengaku hanya bisa dijenguk pada hari Senin dan Kamis.

"Padahal sesuai pasal 60 UU menyatakan keluarga berhak bertemu dengan saya setiap saat. Makanya, saya katakan KPK itu adalah Machsstaat, berkuasa tanpa hukum. Mereka itu suka bikin peraturan sendiri," katanya.

Setiap kali bertemu dengan keluarga, Fredrich mengaku kerap dibawakan segelas kopi bermerk dari Amerika Serikat. Itu pun hanya bisa diletakan dalam kotak kecil. Oleh sebab itu, lagi-lagi ia kembali menuding lembaga anti rasuah tidak manusiawi. 

"Selama saya ditahan KPK, saya tidak boleh beli apa pun. Bahkan bawa uang satu rupiah pun gak boleh," katanya.

Pengakuan Fredrich yang kerap minum kopi bermerk itu kemudian menimbulkan pertanyaan karena justru berisiko memperburuk kondisi penyakit jantungnya. Namun, ia menepis kekhawatiran itu. 

"Enggak ok, hobi saya minum kopi tidak membahayakan jantung saya," katanya lagi. 

Sementara, menurut jaksa Takdir keluarga memang hanya diizinkan menjenguk dua kali dalam sepekan yakni setiap Senin dan Kamis. 

"Kecuali ada sidang di hari tersebut, maka akan digeser ke esok harinya," kata dia.

 

Editorial Team