Jakarta, IDN Times - Ketua Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (TPP HAM), Makarim Wibisono tak menampik bahwa salah satu isi rekomendasi dalam laporan mereka yakni mendorong agar negara mengakui pernah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut mantan diplomat senior itu, pengakuan dari negara merupakan langkah maju. Lantaran sebelumnya tak pernah ada pengakuan semacam itu kepada publik.
TPP HAM pada siang tadi telah menyerahkan laporan akhir kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD terkait penyelesaian non yudisial yang dapat ditempuh oleh pemerintah. Laporan tersebut disusun usai tim tersebut bekerja selama tiga bulan.
"Ya, itu usul kami. Jadi, maksudnya rekomendasi dari kami. Tapi, itu kan nanti terserah Bapak Presiden (apakah akan mengikuti rekomendasi). Supaya Anda tahu juga bahwa presiden itu sangat peka bila dibuka hal-hal yang terlalu besar kepada umum," ungkap Makarim yang ditemui media di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat pada Kamis, (29/12/2022).
"Kalau kita lihat kan sampai sekarang tidak ada satupun pengakuan negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Mereka (keluarga korban) mengharapkan adanya hal itu," tutur dia lagi.
Namun, Makarim menegaskan saat ini belum bisa membuka banyak terkait isi laporan final TPP HAM berat. Sebab, laporannya harus dibaca lebih dulu oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Rencananya, TPP HAM bakal menemui mantan Gubernur DKI Jakarta itu di awal Januari 2023.
"Kami rencananya mengusahakan bisa bertemu bapak presiden di minggu-minggu pertama Januari," katanya.
Tindak kejahatan apa saja yang diusulkan agar diakui oleh negara pernah terjadi di Tanah Air?