Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Upacara bendera di halaman gedung Kemenag RI. (Dok. balitbangdiklat.kemenag.go.id)
Upacara bendera di halaman gedung Kemenag RI. (Dok. balitbangdiklat.kemenag.go.id)

Intinya sih...

  • Praktik ibadah tak bisa lepas dari unsur budaya

  • Singkawang dianggap jadi contoh mengelola perbedaan dengan baik

  • Ngaji budaya diharapkan bisa menjaga toleransi masyarakat

Jakarta, IDN Times – Dalam upaya memperkuat harmoni antarumat beragama, Kementerian Agama (Kemenag) mengadakan kegiatan Ngaji Budaya dan Tradisi Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Aula Basement Kantor Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat, pada Kamis (17/7/2025). Acara ini diikuti oleh 500 peserta dari berbagai agama dan keyakinan, sebagai bentuk nyata komitmen merawat toleransi melalui jalur budaya.

Mengangkat tema “Harmoni Nusantara: Merawat Toleransi di Bumi Seribu Klenteng”, forum ini dirancang sebagai ruang diskusi terbuka antara warga lintas iman dalam membangun kesadaran bersama tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai. Singkawang yang terkenal akan julukannya sebagai kota seribu klenteng, menjadi lokasi yang tepat untuk menggaungkan semangat keberagaman.

Ratusan peserta yang hadir berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari aparatur Kemenag pusat dan daerah, penyuluh agama lintas iman, hingga tokoh adat, budayawan, mahasiswa, dan perwakilan organisasi keagamaan lokal.

Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, Ahmad Zayadi, menyampaikan kegiatan ini bukan sekadar forum keagamaan biasa, tetapi menjadi refleksi penting bagaimana nilai budaya melekat erat dalam praktik keislaman sehari-hari.

“Kita akan ‘ngaji’, tapi ngaji kita bukan dalam makna biasa, yang kita kaji adalah budaya. Dalam konteks kita sebagai umat Islam, kebudayaan sesungguhnya adalah wadah dari ekspresi keberagamaan kita,” ujar Zayadi dilansir dari laman resmi Bimas Islam Kemenag, Jumat (18/7/2025).

1. Praktik ibadah tak bisa lepas dari unsur budaya

Toleransi antar umat beragama, (Freepik).

Zayadi mencontohkan bagaimana praktik ibadah seperti salat sebenarnya tidak lepas dari unsur budaya, khususnya dalam hal kebersihan dan kesucian yang diawali dengan thaharah.

“Thaharah bukan hanya menyangkut kebersihan jasmani (an-nadhafah), tetapi juga kesucian rohani (tazkiyah). Maka, thaharah adalah budaya kita dalam bersuci, baik lahir maupun batin,” jelasnya.

Zayudi mengatakan, meskipun agama bersumber dari wahyu, sementara budaya dari kreasi manusia, keduanya tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.

“Agama berasal dari Allah, budaya dari manusia. Tapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Bisa dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan,” ucap dia.

2. Singkawang dianggap jadi contoh mengelola perbedaan dengan baik

Ilustrasi toleransi. (IDN Times/Sukma Shakti)

Melihat latar keberagaman Singkawang yang multietnis dan multibudaya, Zayadi menilai kota ini sebagai contoh penting dalam mengelola perbedaan agar tidak menjadi sumber konflik, melainkan menjadi kekuatan sosial.

"Singkawang adalah kota yang sangat diverse multietnis, multiagama, multibudaya, dan multibahasa. Keragaman ini harus kita syukuri sebagai kekuatan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi potensi konflik,” kata dia.

Menurut Zayadi, salah satu hal penting dalam membangun toleransi adalah menemukan nilai-nilai universal yang dapat menyatukan perbedaan, seperti semangat keadilan dan nilai-nilai ketuhanan.

“Indonesia tidak pernah memisahkan agama dari kehidupan kebangsaan. Justru nilai ketuhanan itulah yang menjadi sumber inspirasi dan pijakan moral bangsa ini,” ujar dia.

Ia juga menegaskan, regulasi nasional yang menyentuh kehidupan masyarakat, seperti aturan tentang zakat, haji, dan pernikahan, merupakan bukti keterkaitan antara ajaran agama dan hukum negara.

3. Ngaji budaya diharapkan bisa menjaga toleransi masyarakat

Dok. Gedung Kemenag RI

Zayadi berharap forum seperti ini dapat menjadi jembatan bagi masyarakat untuk terus merawat hubungan antara agama dan budaya dalam kehidupan sosial.

"Singkawang bukan hanya dikenal sebagai Bumi Seribu Klenteng, tetapi juga simbol toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Mudah-mudahan kota ini bisa menjadi model yang direplikasi oleh daerah lain dalam membangun kehidupan yang damai dan saling menghargai,” ujar dia.

Editorial Team