Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Penolakan Betonisasi Ciliwung (Dok. Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Koalisi Pemulihan Ekosistem Ciliwung kembali membuat aksi penolakan proyek normalisasi terhadap Sungai Ciliwung dan sungai lainnya di wilayah DKI Jakarta. Mereka menilai proyek yang mereka sebut sebagai betonisasi itu merusak ekosistem dan bukan solusi penangkalan banjir.

"Banjir Jakarta di awal tahun 2020 menjadi bukti bahwa proyek betonisasi berkedok normalisasi Ciliwung justru memperparah kondisi banjir. Ironisnya, kegagalan betonisasi Ciliwung justru hendak direplikasi di 13 sungai lain yang bermuara di teluk Jakarta seperti Pesanggrahan, Angke, hingga Sunter," ujar Koalisi yang terdiri dari WALHI, Ciliwung Institute, KruHa dan Komunitas Ciliwung tersebut melalui keterangan tertulis yang IDN Times terima pada, Sabtu (6/6).

Dia mengatakan proyek normalisasi Ciliwung telah berlangsung sejak tahun 2013 dan sempat berhenti pada 2017. Betonisasi Ciliwung telah dilakukan sepanjang TB Simatupang hingga Manggarai.

"Proyek itu memakan biaya sebesar Rp800 miliar. Total sepanjang 16 kilometer sempadan sungai telah dinormalisasi atau dibetonisasi dari target 33 kilometer," ujarnya.

1. Betonisasi sungai dinilai sebagai solusi keliru mengatasi banjir Jakarta

Penolakan Betonisasi Ciliwung (Dok. Istimewa)

Pendiri Ciliwung Institute Sudirman Asun mengatakan bahwa betonisasi sungai adalah solusi keliru mengatasi banjir untuk jakarta. Proyek ini justru menggusur Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan mempersempit daya tampung sungai. Kapasitas sempadan sungai adalah ruang ekosistem pasang surut air, tempat parkir sementara ketika siklus musim sungai meluap.

"Menyesaki flood plain dengan bangunan beton jalan inspeksi yang berfungsi sebagai kapasitas daya tampung sungai akan menambah komplikasi banjir makin parah, akumulasi beban banjir akan tanggungan kampung-kampung hilir di bawahnya, apalagi ditambah persoalan kawasan hilir di utara yang rata-rata berada di bawah permukaan laut," jelasnya.

“Air sungai untuk mengalir ke laut saja terkendala pasang surut air laut (rob), menyediakan ruang hijau sempadan sungai di selatan jakarta sebagai dataran banjir akan membantu meminimalisasi banjir di hilir, memberi jeda waktu kepada rumah pompa di muara untuk memompa air sungai keluar." lanjutnya.

2. Koalisi menganggap sungai utama Jakarta terus dirusak sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik

Evakuasi Banjir di Jakarta (Instagram/@damkar.pancoran)

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHa) Muhammad Reza Sahib menganggap wilayah DKI Jakarta adalah contoh rendahnya daya tahan air akibat buruknya pengelolaan air. Dia mengatakan sungai utama Jakarta terus dirusak dan berakibat pada rendahnya kemampuan ketersediaan sumber air dan lemahnya daya dukung alamiah dalam mitigasi bencana hidrometeriologi.

Sehingga, banjir Jakarta sering terjadi bukan karena masalah alamiah, tetapi akibat kebijakan pengelolaan yang buruk. Hal ini mengindikasikan pola pelanggaran hak atas air secara sistematis, yang menurutnya dapat dicegah.

3. Perdebatan soal Sungai Ciliwung seharusnya tidak semata soal istilah teknis "naturalisasi" dan "normalisasi" saja

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Reza mengatakan karut marut pengelolaan air tercermin dari adu retorika sesat antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah DKI terkait ‘normalisasi’ atau ‘naturalisasi’ Sungai Ciliwung yang mereduksi kompleksitas Ciliwung menjadi perdebatan teknis semata.

"Normalisasi ataupun naturalisasi sebagai kedok betonisasi sungai harus dikritik dan dilampaui karena merupakan solusi keliru penanganan banjir Jakarta," kata Reza.

Ia juga menyayangkan Pemerintah Pusat yang justru mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2020 untuk menggantikan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 yang salah satu isinya memperbolehkan pembangunan jalan inspeksi di sempadan sungai.

4. Proyek betonisasi dinilai tidak memiliki manfaat ekologis

Penolakan Betonisasi Ciliwung (Dok. Istimewa)

Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi meminta pemerintah menghentikan proyek betonisasi berkedok normalisasi karena dinilai tidak memiliki manfaat ekologis. Tetapi malah merusak fungsi ekologis ekosistem sungai.

“Pembangunan jalan inspeksi di ruas proyek normalisasi sungai bertentangan dengan peraturan yang menetapkan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yang tertuang dalam Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai," ujar Tubagus.

5. Solusi banjir di alur sungai harus diganti dengan solusi banjir pengurangan aliran permukaan atau run off skala DAS dengan melibatkan masyarakat

IDN Times/Aldila Muharma

Pegiat Komunitas Ciliwung Abdul Kodir berpendapat bahwa solusi banjir di alur sungai harus diganti dengan solusi banjir melalui pengurangan aliran permukaan atau run off skala DAS dengan melibatkan masyarakat.

Sebab, menurutnya, gerakan pengurangan run off skala DAS akan mengurangi bagian air hujan yang masuk sungai sehingga menurunkan debit puncak dan akan menambah cadangan air tanah di musim kemarau.

“Sungai adalah ekosistem alami, berbeda dengan saluran irigasi dan kanal buatan manusia. Rekayasa pengelolaannya mutlak harus menyesuaikan kaidah ekosistem dari hulu hingga hilir, begitu juga dalam pengelolaannya dimulai dari perencanaan termasuk identifikasi kultural keanekaragaman hayati dan dilakukan secara terbuka dan transparan karena sungai merupakan ruang publik," jelas Abdul.

6. Lima tuntutan Koalisi Pemulihan Ekosistem Ciliwung di Hari Lingkungan 2020

IDN Times/Aldila Muharma

Dalam momentum Hari Lingkungan pada Jumat (5/6) Koalisi Pemulihan Ekosistem Ciliwung membuat mural protes di bantaran Ciliwung. Koalisi tersebut juga menyerukan tuntutan sebagai berikut :

1. Penghentian betonisasi berkedok normalisasi Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta.
2. Melakukan pemulihan fungsi ekologis di kawasan hulu sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta.
3. Penghentian pendekatan ekonomistik dalam pengelolaan sungai. Patuhi amanat konstitusi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review I dan II Undang-undang Sumber Daya Air dengan mengutamakan pertimbangan HAM dan ekologi.
4. Meninjau ulang Perpres 60/2020 khususnya pasal 110 ayat b yang menjadi ancaman serius kelestarian ekosistem sungai di kawasan Jabodetabekpunjur.
5. Pemerintah daerah lain, jangan mereplikasi kebijakan betonisasi sungai berkedok normalisasi seperti di Jakarta.

Editorial Team