Di Kabupaten Sintang, yang wilayahnya hampir seluas Provinsi Sumatra Utara, sebagian besar penduduknya menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Di beberapa desa dan kecamatan, agama mayoritas adalah Protestan dan Katolik. Kendati berbeda-beda agama, namun mereka menegaskan berasal dari satu suku yakni suku Dayak Iban.
Berasal dari garis leluhur yang sama, membuat masyarakat Dayak di Sintang tidak menjadikan agama sebagai identitas apalagi sebagai pembeda di antara mereka. Agama bagi mereka hanya jalan menuju Tuhan.
“Agama itu hanya jalan ke Tuhan saja, kita satu keluarga. Intinya satu darah (sesama orang Dayak),” ucap Murjani (48 tahun).
Karena itu, tak heran jika banyak keluarga di Sintang, anggotanya menganut agama berbeda-beda. Bahkan di satu rumah betang yang usianya sudah ratusan tahun, Rumah Betang Ensaid Panjang namanya, penghuninya menganut agama berbeda-beda.
Rumah Betang Ensaid Panjang terletak di Dusun Rentap Selatan Desa Sepanjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Dari Kota Sintang, jaraknya sekitar 60 km dengan jarak tempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam menggunakan kendaraan roda empat.
Tempatnya sangat terpencil, dengan kondisi jalan yang belum semuanya beraspal. Perjalanan menuju rumah betang ini melewati pinggir bukit, salah satunya Bukit Kelam.
Rumah Betang Ensaid Panjang berbentuk rumah panggung dengan semua bahannya terbuat dari kayu. Panjangnya sekitar 118 meter dengan lebar 17 meter. Jarak antara tanah hingga lantai rumah sekitar 2 meter, dengan total tinggi bangunan secara keseluruhan mencapai 12 meter.
Di dalam rumah betang ini terdapat 25 pintu bilik yang memisahkan ruangan yang satu dengan ruangan lainnya. Sementara di depan pintu-pintu itu terdapat ruangan sepanjang rumah betang tanpa sekat yang disebut ruai. Ruangan tanpa sekat ini menjadi seperti ruang publik tempat beraktivitas semua penghuni rumah betang.
Sembai (52 tahun), Kepala Dusun Rentap Selatan yang memimpin rumah betang ini mengungkapkan, Rumah Betang Ensaid Panjang dihuni oleh 101 jiwa dengan 32 kepala keluarga.
Penghuninya bekerja sebagai petani di ladang dan menganut agama Katolik dan Protestan. Sebelumnya, kata Sembai, di rumah ini juga pernah tinggal keluarganya yang beragama Islam, namun keluar karena bekerja.
Di rumah betang yang penghuninya berasal dari satu keturunan ini, semua keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat, bukan berdasarkan agama mayoritas penghuninya, bukan juga berdasarkan agama yang dianut oleh pemimpinnya.
Sembai sendiri mengaku sebagai penganut agama Katolik, tapi tidak pernah memaksa mengambil keputusan untuk kepentingan dusun atau warga di rumah betang berdasarkan agama yang dianutnya.
“Keputusan itu bukan keputusan ketua, tapi mana yang enak dipakai bersama. Tidak bisa kita memaksakan orang lain untuk mengikuti agama kita, gak bisa,” kata Sembai saat ditemui Selasa (9/7/2019).
Ilustrasi (IDN Times/Sunariyah)
Dia menegaskan, agama adalah hubungan dengan Tuhan. "Kita bebas bergaul dengan siapa saja, kita tidak harus bergaul dengan si A, mentang-mentang kita di sini mayoritas Katolik misalnya terus yang lain gak boleh, tidak begitu. Itu adalah darah daging kita, saudara kita juga, kalau masalah keyakinan itu kita sama yang di atas,” ujarnya.
Bagi Sembai dan juga masyarakat Dayak lainnya di Sintang, yang utama adalah kekeluargaan. Apalagi jika mereka lahir dari garis keturunan yang sama, hanya satu yang mengikat mereka yakni adat dan budaya Dayak.
Sembai sangat menyadari bahwa dia dan warga kampungnya beragama setelah agama masuk di wilayah mereka. Sementara orangtua mereka dulu belum beragama.
“Tapi Tuhan nenek moyang kita sudah ada menghormati satu sama lain,” ungkapnya.