Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
FOTO 1.jpeg
Rektor UGM, Prof. Ova Emilia dan Tim Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana Sumatra menggelar Konferensi Pers terkait kontribusi UGM dalam percepatan penanggulangan bencana hidrometeorologis Sumatra, Selasa (23/12) di Balairung, Gedung Pusat UGM. (dok. UGM)

Intinya sih...

  • Tim Kelompok Kerja 1 hingga 3 fokus pada tanggap darurat, pendataan lapangan, dan pengembangan Geoportal Informasi Dasar Kebencanaan.

  • Tim Kelompok Kerja 4 hingga 7 bertugas memetakan SOP, rehabilitasi dan rekonstruksi, pengiriman tim medis, dukungan kesehatan mental, dan komunikasi publik.

  • UGM membuka peluang kolaborasi perguruan tinggi serta akses bagi calon mahasiswa dari keluarga terdampak bencana di Sumatra.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Universitas Gadjah Mada memperkuat kontribusinya dalam percepatan penanggulangan bencana hidrometeorologis di Sumatra melalui pembentukan tujuh working group atau kelompok kerja lintas disiplin. Inisiatif ini diarahkan untuk menjawab kebutuhan penanganan bencana secara menyeluruh mulai dari tanggap darurat hingga pemulihan jangka panjang. Seluruh kerja dikonsolidasikan agar berbasis data, kajian ilmiah, dan koordinasi multipihak.

Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Ova Emilia menegaskan bahwa peran kampus hadir untuk memastikan ilmu pengetahuan berkontribusi nyata dalam pengambilan keputusan kebencanaan, “Kami membentuk Emergency Response Unit dengan tujuh Working Group lintas keilmuan agar ilmu ikut memastikan ketepatan keputusan, percepatan pemulihan, serta dukungan kesehatan dan sosial bagi penyintas,” jelasnya Selasa (23/12) di Selasar Balairung.

1. Tim Kelompok Kerja 1 sampai 3 atasi warga terdampak hingga kajian kebencanaan

Rektor UGM, Prof. Ova Emilia dan Tim Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana Sumatra menggelar Konferensi Pers terkait kontribusi UGM dalam percepatan penanggulangan bencana hidrometeorologis Sumatra, Selasa (23/12) di Balairung, Gedung Pusat UGM. (dok. UGM)

Tim Kelompok Kerja 1 berfokus pada tanggap darurat dengan perhatian utama pada sivitas akademika dan warga terdampak bencana. Tim ini melakukan pendataan lapangan untuk memastikan kebutuhan dasar terpenuhi sejak fase awal kejadian. Bantuan diarahkan pada pemenuhan logistik, dukungan hunian sementara, serta asesmen lanjutan bagi kelompok rentan. Langkah tersebut dirancang agar perlindungan dapat segera diaktifkan tanpa menunggu fase berikutnya. 

Perwakilan Kelompok Kerja 1, Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha dan Kerja Dr. Danang Sri Hadmoko. mengatakan pendataan dan pemberian bantuan logistik ini menempatkan keselamatan dan rasa aman sebagai prioritas awal, “Kami menyiapkan bantuan makan, dukungan hunian, serta asesmen lanjutan agar perlindungan bagi warga terdampak dapat segera berjalan,” tutur Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha dan Kerja Dr. Danang Sri Hadmoko.

Percepatan respons lapangan diperkuat melalui kelompok kerja 2 yang mengembangkan Geoportal Informasi Dasar Kebencanaan. Geoportal ini memuat peta dampak bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian, serta prioritas distribusi bantuan. Standar data minimum dan mekanisme kendali mutu disiapkan agar informasi yang digunakan konsisten dan akurat. Sistem satu pintu ini ditujukan untuk menghindari duplikasi data lintas lembaga. 

Prof.  Djati Mardiatno, Dosen Geografi UGM, menekankan bahwa akses data yang terbuka akan mempercepat pengambilan keputusan dalam penganagan penanggulangan bencana. “Geoportal kami rancang agar peta tanggap darurat dapat diakses bersama dan digunakan secara cepat serta akurat,” jelasnya.

Penguatan dasar ilmiah penanggulangan bencana menjadi fokus Tim Kelompok Kerja 3 melalui kajian kebencanaan terintegrasi. Tim ini menilai bahwa bencana dipengaruhi oleh interaksi hujan ekstrem, degradasi lingkungan, serta aktivitas manusia. Pendekatan multibahaya dikembangkan agar peta risiko bersifat adaptif dan relevan dengan dinamika lapangan. Kajian ini diharapkan menjadi rujukan peringatan dini dan perencanaan pembangunan. 

Perwakilan Tim, Dr. Sigit Heru Murti Budi Santosa, menyampaikan bahwa integrasi data menjadi kunci mitigasi yang lebih kuat, “Kami mendorong peta risiko adaptif yang mengintegrasikan dinamika alam dan aktivitas manusia sebagai dasar mitigasi berkelanjutan,” kata Sigit.

2. Begini variasi cakupan kerja Tim Kelompok Kerja 4 hingga 7

Rektor UGM, Prof. Ova Emilia dan Tim Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana Sumatra menggelar Konferensi Pers terkait kontribusi UGM dalam percepatan penanggulangan bencana hidrometeorologis Sumatra, Selasa (23/12) di Balairung, Gedung Pusat UGM. (dok. UGM)

Selanjutnya dari sisi kebijakan, Kelompok Kerja 4 bertugas memetakan Standar Operasional Prosedur (SOP) serta regulasi mitigasi bencana yang relevan dengan kondisi Sumatra. Tim ini melakukan koordinasi dengan kementerian terkait dan BNPB untuk memperkuat pendekatan berbasis ekosistem. Sinkronisasi kebijakan dengan tantangan perubahan iklim menjadi perhatian utama. Hasil kajian diarahkan untuk mempercepat implementasi kebijakan di tingkat daerah. 

Wirastuti Widyatmanti,  Ph.D., selaku perwakilan tim, menegaskan pentingnya pergeseran paradigma kebencanaan. “Penanggulangan bencana perlu diperkuat melalui pendekatan berbasis ekosistem dengan dukungan data, kapasitas, dan kebijakan yang selaras,” ungkapnya.

Lalu, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi ranah Kelompok Kerja 5 dengan prinsip membangun lebih aman dan berkelanjutan. Penyintas ditempatkan sebagai subjek utama dalam proses pemulihan hunian dan lingkungan. Pemanfaatan material lokal didorong agar ramah lingkungan serta mudah direplikasi masyarakat.

Ashar Saputra, Ph.D., selaku ketua tim, menjelaskan pihaknya menyiapkan menyiapkan konsep hunian sementara atau Huntara untuk menjawab kebutuhan tempat tinggal yang lebih layak selama masa transisi. Huntara dirancang berbasis keluarga agar penyintas dapat kembali pada ritme kehidupan sehari-hari yang lebih manusiawi dibandingkan tinggal di tenda darurat. Teknologi konstruksi dibuat sesederhana mungkin sehingga dapat dibangun secara gotong royong dengan memanfaatkan material kayu yang tersedia di sekitar lokasi terdampak. 

Desain hunian ini juga memungkinkan bangunan dipindahkan ketika lokasi hunian tetap telah ditetapkan tanpa menimbulkan beban lingkungan baru. “Hunian transisi kami rancang sederhana agar bisa dibangun penyintas sendiri dan dipindahkan saat lokasi aman telah ditetapkan,” jelas Ashar.

Sebagai bagian dari pemulihan awal, Kelompok Kerja 6 telah mengirim pengiriman tim medis ke wilayah terdampak sejak awal Desember. Tim membantu mengaktifkan kembali layanan rumah sakit yang sempat kolaps serta mendukung puskesmas di daerah terdampak. Dikatakan Ketua Tim, Dr. dr. Sudadi, saat ini penanganan penyakit kulit dan diare menjadi fokus seiring persoalan sanitasi dan kualitas air. Selain itu, dukungan infrastruktur air bersih juga disiapkan untuk fasilitas kesehatan dan warga. Disamping memperluas layanan kesehatan secara bertahap, “Kami menurunkan tim lengkap dan mengaktifkan kembali layanan kesehatan agar kebutuhan dasar masyarakat segera terpenuhi,” tutur Sudadi.

Dukungan kesehatan mental dan psikososial turut menjadi bagian penting dalam respons bencana. Tim Kelompok Kerja 6 menekankan bahwa reaksi emosional penyintas merupakan respons wajar terhadap situasi ekstrem. Pendekatan Mental Health and Psychosocial Support dilakukan melalui pelatihan relawan dan koordinasi lintas organisasi. 

Fokus diarahkan pada pemulihan keseharian anak dan keluarga terdampak. Ketua Tim Psikososial,  Diana Setiyawati, Ph.D., Psikolog menegaskan pentingnya pendekatan terpadu, “Kesehatan mental harus ditangani secara terintegrasi agar pemulihan sosial dan ekonomi dapat berjalan seiring,” pesan Diana.

Sementara itu, Tim Kelompok Kerja 7 berperan dalam komunikasi publik dan advokasi kebijakan. Tim ini memastikan hasil kajian dan kerja lapangan terhubung dengan proses pengambilan keputusan nasional. Koordinasi dilakukan dengan pemerintah pusat, daerah, serta jejaring pemangku kepentingan lainnya. UGM juga mendorong solidaritas jangka panjang melalui penguatan generasi muda di wilayah terdampak. 

Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi, Ph.D. menekankan pentingnya jejaring kolaboratif dalam mendorong kebijakan dan komunikasi publik yang berdampak positif ke masyarakat., “Kami berupaya memastikan kontribusi akademik UGM masuk dalam kebijakan dan solidaritas nasional secara berkelanjutan,” ungkapnya.

3. UGM buka peluang kolaborasi perguruan tinggi

Potret Universitas Gadjah Mada (ugm.ac.id)

Pada sesi tanya jawab dengan awak media, perhatian tertuju pada rencana UGM akan membuka peluang akses bagi calon mahasiswa dari keluarga yang terdampak bencana di  Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Rektor UGM Ova Emilia, menjelaskan bahwa skema tersebut masih dalam tahap perancangan dan akan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. 

Selain itu, UGM membuka peluang kolaborasi lintas perguruan tinggi serta dukungan pendanaan dari berbagai pihak. Inisiatif ini diarahkan untuk membangun ketahanan jangka panjang wilayah terdampak melalui pendidikan. 

“Kami menyiapkan rancangan afirmasi pendidikan yang disesuaikan kebutuhan pemerintah daerah, melibatkan jejaring universitas, serta membuka ruang dukungan pendanaan agar generasi muda di wilayah terdampak dapat bangkit dan berdaya,” pungkas Ova. (WEB)

Editorial Team