Rektor UGM, Prof. Ova Emilia dan Tim Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana Sumatra menggelar Konferensi Pers terkait kontribusi UGM dalam percepatan penanggulangan bencana hidrometeorologis Sumatra, Selasa (23/12) di Balairung, Gedung Pusat UGM. (dok. UGM)
Selanjutnya dari sisi kebijakan, Kelompok Kerja 4 bertugas memetakan Standar Operasional Prosedur (SOP) serta regulasi mitigasi bencana yang relevan dengan kondisi Sumatra. Tim ini melakukan koordinasi dengan kementerian terkait dan BNPB untuk memperkuat pendekatan berbasis ekosistem. Sinkronisasi kebijakan dengan tantangan perubahan iklim menjadi perhatian utama. Hasil kajian diarahkan untuk mempercepat implementasi kebijakan di tingkat daerah.
Wirastuti Widyatmanti, Ph.D., selaku perwakilan tim, menegaskan pentingnya pergeseran paradigma kebencanaan. “Penanggulangan bencana perlu diperkuat melalui pendekatan berbasis ekosistem dengan dukungan data, kapasitas, dan kebijakan yang selaras,” ungkapnya.
Lalu, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi ranah Kelompok Kerja 5 dengan prinsip membangun lebih aman dan berkelanjutan. Penyintas ditempatkan sebagai subjek utama dalam proses pemulihan hunian dan lingkungan. Pemanfaatan material lokal didorong agar ramah lingkungan serta mudah direplikasi masyarakat.
Ashar Saputra, Ph.D., selaku ketua tim, menjelaskan pihaknya menyiapkan menyiapkan konsep hunian sementara atau Huntara untuk menjawab kebutuhan tempat tinggal yang lebih layak selama masa transisi. Huntara dirancang berbasis keluarga agar penyintas dapat kembali pada ritme kehidupan sehari-hari yang lebih manusiawi dibandingkan tinggal di tenda darurat. Teknologi konstruksi dibuat sesederhana mungkin sehingga dapat dibangun secara gotong royong dengan memanfaatkan material kayu yang tersedia di sekitar lokasi terdampak.
Desain hunian ini juga memungkinkan bangunan dipindahkan ketika lokasi hunian tetap telah ditetapkan tanpa menimbulkan beban lingkungan baru. “Hunian transisi kami rancang sederhana agar bisa dibangun penyintas sendiri dan dipindahkan saat lokasi aman telah ditetapkan,” jelas Ashar.
Sebagai bagian dari pemulihan awal, Kelompok Kerja 6 telah mengirim pengiriman tim medis ke wilayah terdampak sejak awal Desember. Tim membantu mengaktifkan kembali layanan rumah sakit yang sempat kolaps serta mendukung puskesmas di daerah terdampak. Dikatakan Ketua Tim, Dr. dr. Sudadi, saat ini penanganan penyakit kulit dan diare menjadi fokus seiring persoalan sanitasi dan kualitas air. Selain itu, dukungan infrastruktur air bersih juga disiapkan untuk fasilitas kesehatan dan warga. Disamping memperluas layanan kesehatan secara bertahap, “Kami menurunkan tim lengkap dan mengaktifkan kembali layanan kesehatan agar kebutuhan dasar masyarakat segera terpenuhi,” tutur Sudadi.
Dukungan kesehatan mental dan psikososial turut menjadi bagian penting dalam respons bencana. Tim Kelompok Kerja 6 menekankan bahwa reaksi emosional penyintas merupakan respons wajar terhadap situasi ekstrem. Pendekatan Mental Health and Psychosocial Support dilakukan melalui pelatihan relawan dan koordinasi lintas organisasi.
Fokus diarahkan pada pemulihan keseharian anak dan keluarga terdampak. Ketua Tim Psikososial, Diana Setiyawati, Ph.D., Psikolog menegaskan pentingnya pendekatan terpadu, “Kesehatan mental harus ditangani secara terintegrasi agar pemulihan sosial dan ekonomi dapat berjalan seiring,” pesan Diana.
Sementara itu, Tim Kelompok Kerja 7 berperan dalam komunikasi publik dan advokasi kebijakan. Tim ini memastikan hasil kajian dan kerja lapangan terhubung dengan proses pengambilan keputusan nasional. Koordinasi dilakukan dengan pemerintah pusat, daerah, serta jejaring pemangku kepentingan lainnya. UGM juga mendorong solidaritas jangka panjang melalui penguatan generasi muda di wilayah terdampak.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi, Ph.D. menekankan pentingnya jejaring kolaboratif dalam mendorong kebijakan dan komunikasi publik yang berdampak positif ke masyarakat., “Kami berupaya memastikan kontribusi akademik UGM masuk dalam kebijakan dan solidaritas nasional secara berkelanjutan,” ungkapnya.