Mulyanto dengan tangkas memukul rebana besar dan membuka kidung salawatan berjudul Yo Sayyid itu. Ia memberikan aba-aba pada pemukul kendang dan rebana yang lain, para wirosworo atau penyanyi, dan lima penari untuk segera memulai kidung mengikuti posisi masing-masing. Senandung yang mengisahkan kelahiran Nabi dan Rasul pembawa Islam di dunia itu dibawakan dalam bahasa Jawa. Suara Mulyanto dan enam wiraswara yang lain terdengar merdu, lengkap dengan cengkok khas Jawa seperti para sinden yang sering mengiringi dalang pada pertunjukan wayang.
“Salawatan Jawa Emprak ini adalah salawatan yang mengisahkan kelahiran Nabi Muhammad SAW di dunia. Ada pula yang menuturkan cara beribadah sesuai tuntunan Nabi Muhammad. Bentuknya sepaket, antara salawatan dan joget,” kata Mulyanto Selasa petang, 3 April 2018. Ia adalah ketua paguyuban Salawatan Jawa Emprak, salah satu komunitas kesenian yang ada dan bertahan di lingkungan Pondok Pesantren Kali Opak, Dusun Klenggotan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dua bait syair pembuka dalam salawat Yo Sayyid, bermakna mengajak berjalan dengan pelan agar tidak terantuk. “Pesannya, sesudah meyakini Islam, agar kemudian berhati-hati dalam memakai syariat Islam, agar tidak salah dan mendapatkan celaka, ndak kesandung (akan terantuk),” katanya mengulang syair salawat itu.
Mulyanto menjelaskan, terdapat 16 kidung salawatan di paguyuban Jawa Emprak yang menggunakan bahasa Jawa ngoko alus, bahasa jawa yang digunakan dalam percakapan di keseharian dengan sebaya, khas Jawa Tengah. Syairnya dikidungkan dalam tembang Jawa warisan para wali, seperti Dandang Gula, Kinanti, dan Pucung. “Ini sudah turun temurun, mungkin sudah empat generasi. Awalnya dituliskan dalam aksara Arab Pego, tapi kemudian jadi aksara latin agar lebih mudah dibacanya,” tambah Yatiman, salah satu anggota paguyuban.
Ia mengingat, pertama kali mengikuti salawat Jawa Emprak pada tahun 70-an, sebelum kemudian hilang dan muncul kembali di Pesantren Kali Opak sekitar 10 tahun terakhir. Selama tak ada komunitas, ia sering bersalawatan bersama delapan anggota keluarganya, istrinya, anak-anak dan mantunya. Ada kendang dan ketipung milik sendiri yang sekarang sudah rusak. “Istri saya juga bisa, tapi sekarang tidak ikut lagi, sudah tua,” katanya sambil membetulkan posisi kaca matanya. Rambutnya putih, kulitnya keriput, giginya terlihat tak lagi lengkap.
Bagi Mulyanto, Yatiman dan anggota yang lain, salawatan telah menjadi bagian dari ibadah dalam berbagai kegiatan di keseharian, tanda penghormatan atas Nabi Muhammad. Mulyanto menuturkan keberadaan komunitas salawatan emprik dengan nama yang berbeda di beberapa desa dan kecamatan lain, namun dengan syair dan tarian yang sama. Anggotanya ada yang laki-laki dan perempuan, ada pula yang remaja namun sebagian besar berusia lanjut.
“Apapun kegiatannya, doanya pakai salawat, entah di depan atau di tengah pakai salawat. Bisa dibaca di manapun, pakai apapun boleh. Jika benar membaca salawat secara khusuk, nanti akan dikasih imbalannya (dari Tuhan),” katanya. Anggota paguyuban Jawa Emprak semuanya laki-laki, paruh baya dan sebagian besar petani. Mereka berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari Indramayu Jawa Barat dan ikut menjadi anggota karena tertarik dengan salawatan Emprak.
Malam itu, mereka menyenandungkan sekitar 10 kidung dari 16 kidung salawat yang ada. Judulnya di antaranya Singgah-singgah, Ilir-ilir, Yo Sayyid, Asung Salam, Rawin, Pamularsih, Montro dan He Allah. Latihan rutin kali ini dilakukan untuk persiapan tampil di Kudus, menyambut kedatangan Gus Mus, Ahmad Mustofa Bisri, pada Kamis esok. Selain berlatih rutin tiap Minggu malam, anggota paguyuban yang rata-rata berusia antara 60 tahun hingga 80 tahun itu juga menyiapkan kostum pertunjukan, berupa setelan baju tradisional Jawa layaknya para dalang, khusus untuk Kamis 5 April 2018.
Mulai dari blangkon, surjan, jarik, selendang sampur, hingga keris yang terselip di pinggang belakang. “Kami tidak muda lagi, tetapi berkesenian ini membawa semangat dan tenaga karena senang,” kata Mulyanto. Bagi anggota lain, salawatan dianggap membawa berkah karena mendoakan dan memuja kebesaran Tuhan dan mendoakan Nabi Muhammad.