Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid membantah pihaknya ingin memberangus kebebasan pers melalui Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Menurutnya, hubungan antara komisi I DPR dengan Dewan Pers adalah relasi yang sinergis dan saling melengkapi. Hal itu termasuk dalam lahirnya Peraturan Presiden mengenai publisher rights.
Menurut politisi perempuan dari fraksi Partai Golkar itu, draf RUU Penyiaran yang saat ini beredar belum bersifat final. "Draf yang saat ini beredar adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir," ujar Meutya di dalam keterangan tertulis pada Kamis (16/5/2024).
Ia menambahkan tahapan RUU Penyiaran saat ini masih berada di Badan Legislasi. "Artinya, belum ada pembahasan dengan pemerintah," tutur perempuan yang dulu juga pernah bekerja sebagai jurnalis di stasiun televisi berita itu.
Salah satu poin di dalam RUU Penyiaran yang menuai penolakan luas dari organisasi pers dan masyarakat mengenai pelarangan penayangan eksklusif produk jurnalistik investigasi. Hal itu tertulis di dalam pasal 50B ayat dua huruf c.
"Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi," demikian isi pasal tersebut seperti dikutip dari draf RUU Penyiaran.
Menurut sejumlah organisasi jurnalis, pasal tersebut menimbulkan kebingungan dan multi tafsir.