Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anak pasien pertama gangguan gagal ginjal akut di Provinsi Lampung dinyatakan meninggal dunia sempat mengalami gejala demam tinggi hingga kejang di RSUD AM. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Jakarta, IDN Times - Keluarga korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), membentuk panitia khusus (pansus) untuk menuntaskan kasus obat beracun yang memakan 324 korban anak.

Hal ini disampaikan anggota Tim Advokasi Kemanusiaan untuk Korban GGAPA, Al Araf saat audiensi dengan Komisi IX DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2023).

"Kami mendesak DPR membentuk pansus untuk mengungkap dan menyelesaikan tragedi obat beracun yang menyebabkan 200 anak meninggal dunia dan 124 anak lainnya harus menderita gangguan ginjal akut serta penyakit penyerta lainnya," ujar dia.

1. BPOM belum membuat standarisasi EG dan DEG

ilustrasi obat sirop (pexels.com/cottonbro studio)

Al Araf mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum kunjung membuat standarisasi Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) sejak ditemukannya kasus gagal ginjal misterius pada Januari 2022 lalu.

"Satu tahun telah berlalu, sejak ditemukanya kasus gagal ginjal misterius pada Januari 2022, hingga kini BPOM belum juga membuat standarisasi pengujian EG dan DEG, sejatinya kasus ini hanya dipandang sebelah mata oleh BPOM karena tidak ada bukti konkret perbaikan sistem oleh BPOM," kata dia.

2. Pembiayaan BPJS tidak berfokus pada GGAPA

ilustrasi acute kidney injury, cedera ginjal akut, gagal ginjal akut (unsplash.com/Stephen Andrews)

Kemudian, Al Araf juga menyinggung soal skema pembiayaan pasien GGAPA di Indonesia. Menurutnya, skema pembiayaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak berfokus pada GGAPA.

Karena itu, banyak korban yang menanggung biayanya sendiri tanpa tanggungan dari pemerintah.

"Kedua skema pembiayaan yang ditawarkan oleh Menteri Kesehatan hanya berfokus pada gangguan gagal ginjal tidak pada penyakit penyerta yang diakibatkan oleh GGAPA. Selain itu bukan rahasia umum bahwa BPJS merupakan iuran yang dibayarkan oleh korban setiap bulan bukan bantuan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pemerintah," ungkap dia.

Keluarga pasien GGAPA juga mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menetapkan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sebab, angka kematian GGAPA ini mencapai lebih dari 55 persen dari kasus yang ada.

3. Pemerintah belum mengunjungi pasien GGAPA sejak awal kasus

ilustrasi ginjal (unsplash.com/Robina Weermeijer)

Tim Advokasi Keluarga Korban GGAPA lainnya, Tegar mengungkapkan, keluarga korban berharap setidaknya pemerintah meminta maaf kepada korban.

Diketahui, pemerintah maupun BPOM belum pernah mengunjungi rumah para korban sejak kasus ini ditemukan.

"Ini kan tidak membutuhkan dana, tapi tidak dilakukan pemerintah. Cukup datang, ketemu korban, minta maaf, itu tidak butuh anggaran," kata dia.

Editorial Team