Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari (IDN Times/Yosafat DIva Bayu Wisesa)
Sebelumnya, Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari buka suara terkait usulan Pilkada 2024 dimajukan pelaksanaannya, dari yang semula digelar bulan November menjadi September.
Hasyim menegaskan, KPU siap melaksanakan segala kemungkinan terkait tahapan Pemilu 2024, termasuk dimajukannya gelaran pilkada. Namun dengan catatan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU).
"KPU sebagai pelaksana UU. Jadi apa yang diatur dalam UU itu yang dilaksanakan oleh KPU. Termasuk bila hari pemungutan suara serentak Pilkada 2024 dimajukan menjadi September 2024 dan hal itu diatur dalam UU atau Perppu, maka KPU tunduk kepada ketentuan UU tersebut," kata Hasyim dalam keterangannya, dikutip Rabu (30/8/2023).
Sementara itu, Pengamat Kepemiluan dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi), Jeirry Sumampow mengusulkan agar Pilkada 2024 dimajukan. Dia menuturkan, sebenarnya usulan dimajukannya jadwal Pilkada 2024 berkaitan dengan prinsip serentak.
Hal itu juga sesuai dengan amanat pada Pasal 434 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menjelaskan bahwa pemerintah wajib memberikan dukungan penuh kepada penyelenggara untuk menjamin suksesnya pelaksanaan tahapan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Sebetulnya memang dari awal itu kan idenya begitu. Melakukan dan menyerentakan pilkada dan pemilu. Untuk efisiensi dan efektivitas lah jadi satu kali putaran atau 5 tahun sekali-sekali itu satu kali pemilu," ucap dia kepada IDN Times, Sabtu (26/8/2023).
"Kekeliruan itu sudah disadari oleh DPR dan pemerintah tetapi direncanakan untuk masuk dalam revisi Undang-Undang 7 tahun 2017, UU pemilu yang dua tahun lalu tiba-tiba batal. Kan setelah 2019 sebenarnya revisi itu sudah fix lah, bahkan sudah ada DIM dan draftnya," lanjut Jeirry.
Jeirry lantas menjelaskan, apabila pilkada digelar November 2024, maka masa jabatan para kepala daerah yang terpilih kemungkinan akan dilantik pada Januari 2025. Tentunya hal itu mengakibatkan ketidaksesuaian dengan skenario yang sejak awal dibuat terkait prinsip keserentakan.
Namun dia tak memungkiri, dalam UU Pilkada yang diatur hanya keserentakkan pelaksanaan waktu pemungutan suara pilkada. Padahal, perlu juga diatur tentang keserentakan pelantikan.
"Karena kan pemungutan suara pilkadanya November. Pungut hitung sampai selesai itu satu bulan. Setelah itu kan ada kemungkinan sengketa hasil kan sampai Januari (2025). Baru bisa pelantikan jadinya Februari kalau ada sengketa hasil. Tapi Kalau tidak ada itu juga dilantik jadi bulan Januari," ungkap dia.