Video pengusiran Biksu Mulyanto yang viral di dunia maya menuai kecaman dari publik. SETARA Institute mengutuk seluruh kebiadaban yang sarat dengan sentimen agama.
Mereka mengapresiasi insiatif yang dilakukan oleh pemerintah dan para pemuka agama untuk duduk bersama membangun satu pemahaman tentang etika lintas umat. Ujung-ujungnya pemerintah berharap semua rakyat Indonesia bisa hidup rukun.
"Tapi, itu saja tidak cukup. Pemerintah, pemuka agama dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkrit untuk menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda, khususnya mereka yang menjadi minoritas atau umat agamanya lebih sedikit," ujar Ketua SETARA Institute Hendardi melalui keterangan tertulis pada Minggu sore (11/02).
Kerukunan antar umat beragama tidak cukup hanya dibangun secara simbolik-elitis dalam acara-acara pertemuan antar agama.
"Potret kerukunan yang riil itu tercermin dalam relasi antar umat di level bawah, bukan di atas meja rapat dan ruang-ruang seremonial," kata dia.
Kritik juga disampaikan oleh Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia PBNU periode 2004-2009, Ngatawi Al-Zasrow. Menurutnya, sejak awal sudah terjadi tindak pemaksaan dari sekelompok orang kepada Biksu Mulyanto.
"Sulit rasanya akal sehat saya menerima bahwa pernyataan itu dibuat tanpa tekanan," kata pria yang kerap mendampingi almarhum Presiden Abdurahman Wahid itu.
Hal lain yang menjadi sorotannya yakni soal alasan pengusiran Biksu Mulyanto karena ia menggunakan rumahnya sebagai tempat ibadah. Menurut Ngatawi, alasan itu sangat menyeramkan karena kalau itu juga diberlakukan bagi umat Islam, maka mereka semua tidak bisa menunaikan salat jemaah di rumah.
"Selanjutnya, umat Islam harus salat di masjid. Selanjutnya, rumah tinggal tak boleh digunakan untuk pengajian dan berbagai bentuk ibadah lainnya. Kan rumah bukan tempat untuk beribadah," katanya dalam keterangan tertulis.
Namun, kalau aturan itu hanya berlaku untuk pemeluk agama lain, maka yang memberlakukan larangan tersebut bukan umat Muslim yang sesungguhnya.
"Apakah orang-orang Islam yang menggrebek rumah Bante Nurhalim dan membuat kesepakatan itu pernah terpikir dan membayangkan bagaimana kalau rumahnya, tamunya selalu diawasi oleh umat lain agar tidak dipakai ibadah?" tanya dia.
Ia bahkan menegaskan kalau ada orang yang tengah beribadah lalu dibubarkan, kemudian perbuatan itu dibenarkan, maka hal tersebut sama saja seperti mendukung perbuatan maksiat yang nista.