Jakarta, IDN Times - Sebagai lembaga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menghadapi berbagai konflik termasuk dari dalam organisasi itu sendiri. Salah satunya mengenai konflik di antara para penyidiknya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyidik yang direkrut secara internal oleh KPK tidak akur dengan penyidik yang dipekerjakan dari institusi kepolisian. Bahkan, hal itu sempat disampaikan secara terbuka oleh mantan Direktur Penyidikan Brigjen (Pol) Aris Budiman ketika menghadiri rapat hak angket di DPR tahun 2017 lalu.
Padahal, tantangan yang dihadapi ke depan oleh KPK sangat berat, termasuk terus memberantas kasus korupsi di tengah jumlah SDM yang tak mumpuni. Konflik kali ini bermula dari adanya protes penyidik yang berasal dari institusi Polri terhadap pelantikan 21 penyidik yang direkrut secara mandiri oleh lembaga antirasuah. Sebelum dilantik, 21 orang itu dulunya adalah penyelidik.
Informasi dari juru bicara KPK, Febri Diansyah, 21 orang itu adalah penyidik muda dan dianggap memiliki kesesuaian kompetensi, tingkat jabatan dan berpengalaman di bidang penyelidikan selama dua tahun.
"Penyidik muda yang dilantik adalah hasil pelatihan selama lima pekan sejak 11 Maret hingga 13 April 2019," kata Febri melalui keterangan tertulis pada (23/4) lalu.
21 orang itu akhirnya dilantik di gedung Merah Putih pada Selasa (23/4) lalu. Dengan adanya tambahan SDM, maka jumlah penyidik di KPK menjadi 117 orang.
Namun, perekrutan penyidik secara mandiri itu diprotes. Pada akhir April beredar surat terbuka setebal enam lembar. Surat itu berjudul "Menyikapi Proses Perpindahan Pegawai di Lingkungan Kedeputian Bidang Penindakan yang Diduga Melanggar Prosedur". Di bagian akhir surat terdapat lampiran berisi tanda tangan dari 42 penyidik Polri yang memprotes perekrutan itu.
Lalu, apa isi surat setebal enam halaman itu? Apa pula komentar KPK soal potensi perpecahan yang terjadi dalam lembaga antirasuah tersebut?