Jakarta, IDN Times - Polemik mengenai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih yang tak memenuhi aturan di UU baru nomor 19 tahun 2019 terus bergulir. Presiden Joko "Jokowi" Widodo merasa bingung apakah sebaiknya pada Desember mendatang tetap melantik Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron atau tidak.
Sesuai aturan di UU baru KPK nomor 19 tahun 2019, usia Ghufron tidak memenuhi persyaratan agar bisa diangkat sebagai satu di antara lima pimpinan komisi antirasuah. Di dalam pasal 29 UU nomor 19 tahun 2019 poin e tertulis "untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenui persyaratan sebagai berikut yakni berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan." Di aturan itu jelas tertulis, ketika proses pemilihan berlangsung maka pimpinan KPK terpilih minimal berusia 50 tahun.
Pada kenyataannya, ketika terpilih Ghufron masih berusia 45 tahun. Bagi pengamat hukum tata negara, terpilihnya Ghufron jelas melanggar UU. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar termasuk yang paling keras dan menyuarakan hal itu ke publik. Dalam pandangannya dengan lolosnya Ghufron sebagai pimpinan terpilih menandakan anggota DPR periode 2014-2019 terburu-buru saat melakukan revisi UU komisi antirasuah.
Alhasil, Jokowi sempat mengirim surat kepada DPR untuk meminta pertimbangan apakah ia sebaiknya melantik Ghufron. Konfirmasi mengenai surat itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin pada Senin (28/10) kemarin.
"Iya, betul, kami menerima surat dari presiden yang meminta pertimbangan terkait saudara Ghufron," tutur Azis kepada media kemarin di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat.
DPR, kata dia, menilai Ghufron tetap bisa dilantik oleh Presiden Jokowi pada Desember mendatang. Lho, kok bisa? Bukankah surat keppres pelantikan Ghufron rawan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?