Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Media briefing KPAI
Media Briefing di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya sih...

  • Penyebaran informasi lebih cepat dari verifikasi

  • Bahaya penyebaran identitas anak, contohnya kasus video Elham Yahya

  • Wawancara siswa SMAN 72 tanpa pendampingan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menegaskan pentingnya penyebaran informasi yang berpihak pada perlindungan anak di tengah derasnya arus media digital. Ia menyoroti bahwa penyebaran informasi saat ini berlangsung jauh lebih cepat daripada proses verifikasi, sehingga kasus yang melibatkan anak dapat viral dalam hitungan menit.

Veronica mengingatkan bahwa narasi tanpa konteks dan tanpa perspektif perlindungan anak berpotensi menimbulkan dampak serius.

“Pemberitaan sensasional dapat menimbulkan stigma, membuka identitas anak, memperburuk trauma, serta mengganggu proses pemulihan,” ujarnya saat media briefing di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025).

1. Penyebaran informasi lebih cepat dari verifikasi

Media Briefing di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Karena itu, dia menilai komunikasi publik memegang peran sentral untuk mencegah kepanikan, framing bias, dan normalisasi kekerasan. Menurutnya, komunikasi tentang isu anak harus dilakukan dengan sangat hati-hati, berbasis data, beretika, dan mengutamakan kepentingan terbaik anak.

Dia menekankan bahwa anak adalah pembelajar sosial yang mudah meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Konten kekerasan tanpa konteks edukatif di media sosial dapat membuat anak menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar.

2. Bahaya penyebaran identitas anak, contohnya kasus video Elham Yahya

Tangkapan layar Gus Elham saat berdakwah. (Youtube/Ratu Religi dan Alam).

Vero juga menyoroti bahaya penyebaran identitas anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga merusak masa depan sosial dan psikologis mereka. Karena itu, ia menekankan pentingnya narasi publik yang tidak sensasional, tidak membuka identitas, tidak memberi stigma, dan selalu bertujuan edukatif.

Veronica menyoroti sejumlah kasus viral yang menjadi contoh kerusakan narasi publik tanpa perspektif perlindungan anak. Pada kasus Penceramah Elham Yahya yang menciumi anak perempuan, dalam video yang beredar wajah anak terlihat jelas, sementara tidak ada proses hukum terhadap pelaku dewasa dan identitas keluarga tidak diketahui.

“Anak tetap ter-expose tanpa perlindungan, pelaku tidak tersentuh hukum, dan ini memberi pesan bahwa tindakan seperti itu bisa dilakukan tanpa konsekuensi,” ujarnya.

3. Wawancara siswa SMAN 72 tanpa pendampingan

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan hadir dalam puncak peringatan Hari Anak Nasional 2025 di Balai Kota Semarang, Kamis (21/8/2025). (dok. Pemkot Semarang)

Sementara dalam kasus lain adalah SMA 72 Jakarta, yang viral karena dugaan perundungan. Menurut Veronica, narasi publik yang hanya menyoroti satu sudut pandang berpotensi menormalisasi kekerasan sebagai pembenaran. Ia juga mengkritisi proses pengambilan keterangan terhadap anak tanpa pendampingan orang dewasa, yang berisiko memperburuk trauma.

Dua kasus itu, kata Veronica, menunjukkan pola besar bahwa ketika unggahan viral tidak menggunakan perspektif perlindungan anak, dampaknya merusak ekosistem sosial secara luas. Anak-anak dapat meniru kekerasan karena melihatnya sebagai sesuatu yang mendapat sorotan publik, sementara orang dewasa bisa merasa leluasa melakukan tindakan serupa tanpa konsekuensi.

4. Dorongan pedoman komunikasi ramah anak

Wamen PPPA, Veronica Tan (Dok. Humas Kemen PPPA)

Untuk itu, Veronica mendorong penguatan koordinasi lintas kementerian/lembaga, termasuk Komdigi, KPAI, Kemendikbudristek, kepolisian, pemerintah daerah, dan media. Dia menilai perlu adanya pedoman komunikasi publik berperspektif perlindungan anak, yang menjadi acuan bersama bagi pemerintah hingga dunia pendidikan dan pers.

“Perlindungan anak di ruang publik tidak mungkin dilakukan satu lembaga. Ini kerja kolaboratif,” kata dia.

Editorial Team