Ilustrasi santri di Pondok Pesantren Al Falah Ploso. (Dok. Pemkab Kediri)
Ia menilai lulusan pesantren memiliki kesiapan peran lebih dari sekadar berdakwah, melainkan juga sebagai analis kebijakan, peneliti, konsultan syariah, pendidik publik, hingga fasilitator moderasi beragama. Oleh sebab itu, Kemenag perlu mendorong sistem penyetaraan, akses lapangan kerja, serta ruang aktualisasi lebih luas.
Pada sesi selanjutnya, Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidillah Shodaqah, memberikan pandangan mendalam terkait dampak teknologi terhadap pembelajaran. Ia mengingatkan tentang kemudahan akses informasi semestinya berjalan beriringan dengan kedalaman adab serta kontrol moral.
“Sesuatu yang dicapai dengan mudah akan hilang dengan mudah. Teknologi membantu, tetapi jangan sampai membuat tumpul dan menghilangkan semangat dalam mengkaji,” ucap kiai yang akrab disapa Mbah Ubed.
Mbah Ubed menjelaskan, perbedaan kondisi santri masa lalu yang memerlukan ketekunan tinggi demi mencari satu referensi kitab. Kondisi kini berbeda karena aplikasi digital memungkinkan pencarian cukup melalui kata kunci. Kemudahan tersebut hendaknya berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti mujahadah atau kesungguhan.
Mbah Ubed meminta ruang digital terisi oleh suara pesantren. Santri berkewajiban mengambil peran dalam produksi konten keislaman sehat, moderat, serta berakar pada tradisi keilmuan pesantren.
“Santri dan pesantren harus mengisi ruang digital dengan konten kepesantrenan. Jangan biarkan ruang itu kosong dan diisi pihak yang tidak memahami pesantren,” kata dia.