Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (IDN Times/Aldzah Aditya)
Ini juga pertanyaan yang penting, kalau tadi saya bicara pertanyaan-pertanyaan moral, tentang keadilan, tentang pengakuan, ini tentang pertanyaan politik, pertanyaan politik ini wajar muncul karena memang dari segi momentum saat ini banyak sekali tokoh politik, pejabat pemerintah, politisi yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu, segala cara dilakukan, memperkenalkan diri, mempromosikan diri melalui beberapa cara yang sering berada di batas abu-abu antara kapasitasnya sebagai orang yang ingin maju di dalam kontestasi politik atau orang yang murni mewakili negara, ingin memberikan keadilan kepada keluarga.
Jadi saya kira pertanyaan politik ini muncul dan bisa dikatakan wajar karena selain momentum politik dan dua sosok tersebut, Airlangga dan Erick, dalam perbincangan di masyarakat dan di media massa, merupakan sosok yang sedang mempersiapkan diri untuk mencalonkan sebagai presiden. Sampai di titik itu muncul kekhawatiran politisasi hanya untuk komunitas politisasi saja.
Kalau itu terjadi, saya tentu agak kecewa, tapi saya tidak berprasangka buruk juga dan saya punya harapan sekaligus tantangan kepada beliau-beliau itu untuk menempatkan pemberian itu dalam kerangka yang lebih resmi sebagai pemerintah dan dengan pengakuan, sekaligus juga membuktikan kalau itu bukanlah politik pencitraan, bukan politik elektoral untuk meningkatkan popularitas, elektabilitas melainkan benar-benar didasarkan pada niat yang tulus, kemauan politik yang tinggi untuk menghadirkan keadilan, dan jangan lupa pertanyaan politik tadi itu muncul, karena misalnya begini, kalau tragedi Trisaksi dilihat dari persoalan hukum, persoalan hak asasi manusia, kenapa yang memberikan bukanlah Menteri Hukum dan HAM.
Kalau mau menempatkan lebih luas dalam persoalan politik hukum dan keamanan, kenapa tidak ada Menko Polhukam, kalau benar ada katakanlah instruksi dari Presiden Joko Widodo kepada Menteri BUMN Erick Thohir bahwa pemberian rumah itu yang menggunakan Bank Tabungan Negara atas nama presiden, kenapa tidak presiden langsung turun, kenapa tidak ada penjelasan dari Menteri Sekretaris Negara, kenapa tidak ada penjelasan resmi seperti itu?
Itu yang memunculkan pertanyaan politik yang wajar, sehingga ada muncul pertanyaan tragedi Trisaksi sebagai komunitas politik dan banyak pertanyaan lain yang muncul, kenapa keluarga Trisakti saja misalnya, saya dihubungi oleh beberapa orang tua dari mahasiswa yang gugur dalam peristiwa Semanggi, atau Semanggi I, Semanggi II, tidak semua, beberapa.
Bukan mereka mau mengatakan mengapa saya tidak diberi rumah, bukan, mereka bukan sosok seperti itu, Ibu Sumarsih mengatakan, saya ingin keadilan, saya ingin ada hukuman terhadap para pelaku. Itulah yang bisa mengobati luka saya atas kehilangan anak saya di tahun 98.
Tapi ada juga yang sekadar bertanya netral, kenapa ya Bang Usman hanya Trisaksi? Ini yang harus dijawab oleh pemerintah, khususnya oleh Menko Perekonomian dan Menteri BUMN, artinya bagaimana pilihan itu jatuh pada Trisakti saja. Padahal tragedi Trisaksi dalam bertahun-tahun selalu disebut sebagai peristiwa dari rangkaian represi negara terhadap para mahasiswa dan itu meliputi tragedi Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II.
Kalau kita elaborasi lebih jauh lagi, peristiwa Trisaksi itu peristiwa represi di Bulan Mei yang diawali dengan misalnya tewasnya Moses Gatot Kaca dari Universitas Sanatadarma di Yogyakarta atau Universitas Pakuan di Bogor, atau penculikan yang terjadi di tanggal 13-15 Mei selama kerusuhan terjadi atau selama September, Oktober, November menjelang sidang istimewa, baik itu di Jakarta, di Lampung, baik itu terhadap mahasiswa Universitas Atmajaya, Universitas Yai, Unila misalnya atau terhadap mahasiswa UI seperti Yap Yun Hap yang meninggal dunia karena tertembak peluru tajam.
Jadi saya kira banyak sekali pertanyaan yang ditinggalkan oleh seremoni pemberian materi berupa rumah, uang, seperti tadi saya katakan saya menghargai sebagai orang yang berasal dari keluarga Trisakti, dan saya menghargai keputusan keluarga mereka yang kehilangan anak-anak mereka, mereka juga punya hak, punya kebebasan untuk menentukan haknya.