Perempuan bercadar nekat terobos Istana ditangkap Polisi (instagram.com/lovers_polri)
Pandangan saya tentang aksi yang terjadi di depan Istana, kalau kita lihat memang itulah dinamika dan fakta yang terjadi di Indonesia, bahwasanya masih ada kelompok atau individu yang terpikat oleh paham-paham bisa kita katakan ekstrem. Paham yang merasa negara ini belum pada relnya, paham yang merasa bahwa pemahaman dia harus dimasukkan dalam negara. Padahal, kita tahu Indonesia sudah dalam posisi hari ini, darul ahdi wa syahadah, dan berbagai negara yang sudah sepakat dengan Pancasila.
Nah, ini yang menurut saya juga perlu kita lihat sebagai salah satu hal yang krusial, dewasa ini karena ternyata pelaku perempuan menjadi tren selama 10 tahun belakangan. Selain itu, juga pelaku perempuan yang melakukan aksi sendiri juga melakukan tren belakang, lone wolf.
Ini yang menurut saya menarik untuk kita lihat, dan itu terkait dengan rilis beberapa lembaga ternyata itu memiliki relasi dengan kelompok-kelompok yang bisa kita katakan negara Islam Indonesia, dan beberapa yang lain dan perilaku media sosialnya mengarah pada kelompok tersebut, mengikuti kelompok-kelompok yang mengusung ide khilafah.
Menurut saya, ada satu hal yang perlu kita perhatikan selain tadi perempuan, lone wolf, adalah bagaimana seseorang tersebut terlibat dalam aksi terorisme yang itu juga dipengaruhi dari pola dia dalam bermedia sosial, dan ini menjadi krusial bagi kita semua. Karena selain kelompok bisnis menurut saya, salah satu kelompok yang juga sangat adaptif dengan revolusi perkembangan 4.0 adalah kelompok ekstrem.
Ini menurut saya tantangan ke depan akan kita hadapi demikian, generasi muda, entah itu laki-laki atau perempuan dihadapkan pada ideologi ekstrem dan juga ada tantangan bermedia sosial.
Pelaku perempuan bercadar ini umurnya di bawah 25 tahun, dan cenderung terbawa di media sosial, kenapa anak muda lebih mudah terpapar melalui media sosial?
Kalau kita lihat, berbagai riset, kenapa kemudian generasi muda masuk, faktanya ada suatu lembaga riset bernama Center Detention Studies yang meneliti tentang pelaku terorisme itu ada di rentang usianya 18 bisa masuk 25 tahun sampai pada 36 tahunan, itu faktanya. Kenapa banyak generasi muda yang masuk? Nah ini menurut saya ini ada pendekatan yang diintrodusir, Erikson salah satu pemikir psikologi yang membagi tahap perkembangan usia itu menjadi delapan tahap.
Salah satu yang krusial menurut Erikson adalah fase remaja dan fase dewasa, usianya di antara itu. Di mana di usia remaja ini ada persoalan-persoalan muncul pencarian jati diri, lalu kemudian mereka ada problem keterasingan di masyarakat. Ketika ini pencarian jati diri lalu kemudian memiliki lingkungan sosial yang secara riil, dan lingkungan sosial virtual, lalu kemudian yang menciptakan suasana inteloeran, lalu dia sering ikut dalam pertemuan-pertemuan luring, lalu ada kristalisasi ideologi.
Kemudian jadilah seperti yang terjadi di depan Istana, dan ini bukan fenomena di Indonesia saja, Michel dalam bukunya soal potret bagaimana generasi muda terpincut oleh kelompok ekstrem, ada beberapa negara yang coba dilihat, Amerika, Jerman, Swedia, Inggris dan ternyata hampir mirip dengan fenoma di Indonesia.
Dia menyatakan ada "boy crisis", pencarian jati diri. Belum lagi hasil riset kami di kajian riset terorisme di UI (Universitas Indonesia), kebetulan saya di Prodi Kajian terorisme, itu meneliti bahwa adanya pola pengasuhan keluarga.
Lalu, kemudian hubungan yang kurang harmonis di antara anggota keluarga dan juga bisa saja bagian akhir ini juga hampir mirip dengan apa yang terjadi pada perempuan yang ada di depan Istana itu, dia berapa di lingkungan geneologi yang memang keluarganya itu merupakan bagian dari jaringan, nah itu tipologi di Indonesia dan itu mirip juga yang ada di dunia.