Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, bersama Arkeolog independen dan peneliti situs-situs sejarah di Sumatera E.Edwards McKinnon dan Guru Besar UIN Ar Raniry Misri A.Muchlisin memberikan materi (Dok. Istimewa)
Kalau kita refleksi, sesungguhnya Ramadan 1441 Hijriah, banyak hal yang kontradiktif. Tentu saja disebabkan wabah virus corona yang menyebar kemana-mana. Kontradiktif pertama dari keumatan. Kita melihat lazimnya tahun-tahun lalu atau 2-3 dasawarsa terakhir, umat Islam itu sangat bersemangat dalam mengekspresikan keislaman mereka.
Itu bagus, karena memang perkembangan sosiologi keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia, seperti juga di banyak negara, terlihat peningkatan kegairahan beragama. Atau dalam bahasa lain, agama baru ditemukan kembali, sehingga menimbulkan berbagai ekses.
Misal di Eropa muncul politik identitas, di Amerika ada politik identitas dengan Donald Trump sebagai fundamentalisme Kristen, ada juga di Jakarta waktu pemilihan gubernur DKI. Walau pun kemudian di Indonesia politik identitas Islam berlangsung singkat, karena tidak didukung oleh lapisan sosiologi keagamaan Muslim itu sendiri.
Nah kontradiksi yang saya kemukakan itu, di satu pihak semangat keagamaan yang tinggi, tapi pada pihak yang lain, penghayatan keagamaannya kurang memakai akal, nalar, rasio. Sehingga ketika pemerintah atau MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa supaya salat Jumat, tarawih, dan Idulfitri dilakukan di rumah, itu banyak yang menentang. Orang bilang jangan takut kepada corona, takutnya kepada Allah, itu yang saya sebut sebagai penghayatan keagamaan yang mengedepankan simbolisme, tapi kurang menggunakan nalar.
Kontradiktif kedua, kaitannya tentang puasa itu sendiri. Puasa itu hikmahnya agar umat Islam mampu mengendalikan dirinya. Puasa itu menahan dari dominasi yang bersifat jasadiyah dan material, mulai dari makan-minum, hubungan suami-istri, yang memang bisa menyebabkan manusia kehilangan kemanusiaannya. Sehingga ada orang-orang yang korupsi dan melakukan tindak kriminal lainnya.
Nah, puasa maksudnya mengendalikan itu dan kemudian membawa orang menjadi takwa, takut kepada Allah atau terpelihara dirinya. Tapi kalau kita lihat 10 hari terakhir, ini kontradiksinya, banyak umat Islam yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Lihat saja pasar-pasar ramai, mal ramai, jalanan ramai. Walau pun dihadang petugas, tapi tetap banyak yang lolos.
Inilah kontradiktif-kontradiktif yang saya katakan. Walau pun kalau mau berapologi, kita bisa berapologi dengan bersikap bukan hanya orang Islam yang seperti itu, dulu juga ada yang berkumpul di gereja. Tapi itu justifikasi yang gak perlu, kita lebih melihat ke internal umat Islam. Karena itu tugas para pemimpin agama dari lokal sampai nasional memang berat sekali, bagaimana memberikan penyadaran kepada umat.