Jakarta, IDN Times - Remaja putri berinisial ZA melangkahkan kakinya ke Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021). Berpakaian hitam dengan jilbab biru, dia memasuki pintu belakang Gedung Utama Mabes Polri, dengan alasan ingin menyerahkan surat ke Setum Polri.
Ternyata itu jadi momen terakhir ZA memandang langit cerah Jakarta di usianya yang masih 25 tahun. ZA meregang nyawa saat melakukan aksi teror di kantor Kapolri Listyo Sigit. Dia berhasil masuk melalui pintu pejalan kaki dengan membawa senjata api.
Video amatir yang tersebar di media masa menggambarkan ZA sempat melancarkan aksi terornya hingga akhirnya terbujur kaku usai ditembak polisi. surat kuning di tangannya jadi pendamping akhir hayatnya.
Melalui surat tersebut, dia menyampaikan beberapa pesan dan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya.
“Dari semua indikator grafis yang terdapat dalam sampel tulisan tangan ZA, sisi frustasi yang bersangkutan tak berkaitan dengan aspek spiritual ataupun material, melainkan tidak diperolehnya penghargaan sosial yang dia inginkan dalam kehidupan bermasyarakatnya,” ujar Pakar Grafolog, Deborah Dewi kepada IDN Times, Kamis (1/4/2021).
Perempuan dan terorisme kini bukan lagi menjadi hal yang baru, pergeseran peran gender dalam aksi terorisme kini mudah ditemui. Pada 2018, Puji Kuswati dan dua putrinya melancarkan aksi bom bunuh diri di ereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro. Puji jadi "pengantin" perempuan pertama dalam sejarah terorisme Indonesia.
Bahkan sebelum ZA, bom bunuh diri juga terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021) yang melibatkan perempuan berinisial YSF sebagai aktor ‘pengantin’ bom bunuh diri bersama suaminya yang berinsial L.
Deretan keterlibatan perempuan di balik aksi terorisme pantas untuk ditelisik demi mencegah kejadian serupa. Berikut adalah wawancara khusus IDN Times dengan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Valentina Gintings, terkait isu perempuan dan terorisme.