[WANSUS] Pemilu Proporsional Tertutup Menghilangkan Kedaulatan Rakyat

Jakarta, IDN Times - Sejak era reformasi hingga 2019, pemilihan umum (pemilu) mengalami perbaikan guna menampung aspirasi masyarakat. Perbaikan itu terlihat dari sistem pemilu yang diterapkan mulai dari 2004 sampai 2019.
Sebagaimana diketahui, pada Pemilu 1955 sampai 1999, sistem yang digunakan adalah proporsional tertutup. Kemudian desakan untuk mengubah sistem pemilu menjadi lebih terbuka menguat pada Pemilu 2004.
Indonesia lantas menerapkan sistem proporsional semi terbuka sejak Pemilu 2004 untuk memilih calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Kemudian sistem proporsional semi terbuka resmi digugat pada 2008 lalu. Gugatan atau uji materi tersebut disampaikan oleh Muhammad Sholeh ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK saat itu lantas mengabulkan uji materi tersebut. Sehingga pada Pemilu 2009 sistem proporsional menjadi terbuka. Dengan demikian, pemilih diberikan kewenangan memilih caleg yang dikehendaki sesuai daftar caleg yang ada di masing-masing partai politik peserta pemilu.
Sehingga penentuan kursi di legislatif berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, ketika suatu partai politik peserta pemilu mendapatkan kursi di suatu daerah pemilihan (dapil), maka yang memperolehnya adalah caleg dengan suara terbanyak.
Sistem proporsional terbuka yang digunakan saat ini memberikan keleluasaan baik bagi caleg maupun pemilih. Caleg mempunyai peluang yang sama dan bisa menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk meraih suara tertinggi.
Saat ini polemik proporsional terbuka sedang jadi pembahasan luas publik, sejak Ketua KPU Hasyim Asy'ari menyinggung kemungkinan Pemilu 2024 memakai proporsional tertutup.
Diketahui, aturan mengenai sistem pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, diuji secara materiil ke MK. Gugatan yang dilakukan sekelompok orang itu tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).
Para pemohon menilai berlakunya norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, seperti dibajak caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis kepada partai politik.
Akibatnya, pemohon menganggap saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri. Karena itu, pihaknya menyarankan seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut pemohon, pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, sistem proporsional terbuka dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan pmenempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Mestinya, kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik, bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
“Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasaekan sistem suara terbayak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik. Ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara,” kata Sururudin dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Lantas bagaimana tanggapan penguggat uji materi proporsional pemilu pada 2008 lalu soal proporsional tertutup? Simak selengkapnya wawancara khusus dalam ngobrol seru IDN Times dengan Muhammad Sholeh.
1. Alasan gugat sistem proporsional pemilu pada 2008
Saya Muhammad Sholeh, saya tinggal di Surabaya sebagai advokat. Tahun 2008 jelang Pemilu 2009 dulu kita nyoblosnya adalah gambar parpol, tidak ada tulisan nama-nama caleg dari parpol. Dulu ini dikenal istilahnya sistem proporsional tertutup sehingga pemilih memilih gambar parpol. Soal caleg siapa yang menjadi domain dan kewenangan penuh dari parpol, makanya dikenal sebagai sistem proporsional tertutup. Waktu itu, kebetulan saya sebagai caleg dari PDIP untuk dapil Surabaya, Provinsi Jawa Timur, saya melihat kalau ini dibiarkan tentu gak ada gunanya saya ikut pileg karena saya nomor urutnya pun nomor empat, maka tidak mungkin saya terpilih.
Meskipun saya sejak mahasiswa sudah menjadi aktivis, melakukan advokasi, setelah saya jadi lawyer saya banyak membantu kasus-kasus masyarakat. Ini semua gak ada gunanya karena saya tidak dekat dengan pimpinan partai, maka saya dapatnya nomor empat. Jadi waktu itu saya pikir maka ini harus digugat, cara satu-satunya harus ke Mahkamah Konstitusi supaya tidak lagi gunakan proporsional tertutup tapi gunakan proporsional terbuka.
Apa sih sebenarnya sistem proporsional terbuka?
Proporsional terbuka adalah sebuah sistem di mana kedaulatan itu ada di tangan rakyat, maka rakyat atau pemilih yang menentukan caleg A, caleg B, siapa pun. Nomor urut satu sampai sepuluh, kalau nomor sepuluh itu banyak dipilih oleh masyarakat maka dia yang berhak menjadi atau duduk di dalam parlemen, tidak lagi ditentukan oleh parpol.
Kenapa sekarang ini menjadi ramai, dikarenakan ada komentar dari Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang dia ngomong, ada kemungkinan Pemilu 2024 itu akan kembali ke proporsional tertutup. Pemilih tak memilih caleg tetapi mencoblos gambar parpol. Itu diucapkan pada tanggal 29 Desember, saya terus terang itu agak miris, agak emosi, karena yang perjuangkan dari tertutup jadi proporsional terbuka itu saya di MK pada tahun 2008, itu dikabulkan oleh MK, sehingga semua caleg senang semua, pemilih senang semua. Karena itu betul-betul jadi pesta demokrasi, rakyat bisa menentukan siapa yang harus duduk di parlemen, DPRD Provinsi, maupun kabupaten/kota.
Tapi sayangnya setelah saya memenangkan gugatan di MK saat itu pada tanggal 23 Desember 2008, PDIP marah. Saya dianggap melawan kebijakan partai, akhirnya nama saya dihilangkan, dicoret jadi caleg sehingga meskipun Pemilu 2009 adalah pesta rakyat, tapi saya tidak senang karena yang menikmati bukan saya.
Yang menikmati semua orang, saya justru tidur di rumah karena tidak boleh atau dicoret jadi caleg tadi. Tapi saya tidak patah semangat, karena sistem proporsional terbuka adalah yang terbaik yang mendekatkan antara caleg dan rakyat atau pemilih. Maka ketika ada dugaan mau dikembalikan ke nomor urut lagi, saya tidak terima, makanya pada tanggal 10 Januari kemarin saya daftarkan permohonan ke MK untuk jadi pihak terkait agar MK menolak gugatan permohonan yang ingin dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Kalau ini terjadi, maka demokrasi kita akan kembali lagi ke zaman baheula.