Jakarta, IDN Times - Julianto Hendro Cahyono masih mengingat dengan jelas tragedi mengerikan yang terjadi di depan kampusnya, Universitas Trisakti, pada Selasa 12 Mei 1998. Hendro saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiwa Fakultas Ekonomi sekaligus Ketua Senat Universitas Trisakti (1997-1998).
“Waktu itu saya dibawa oleh teman saya ke lantai 9 Ruang Purek III, karena habis tertembak peluru karet. Saat kerusuhan itulah empat adik kelas saya tertembak oleh peluru tajam,” kata Hendro mengenang hari berdarah hampir dua dekade lalu saat ditemui IDN Times, Rabu (2/5).
Keempat mahasiswa Trisakti yang tewas tersebut adalah Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, dan Hendryawan. Hendro menduga keempatnya tewas bukan karena timah panas yang dilontarkan secara membabi-buta, melainkan karena mereka memang dibidik.
“Karena mereka ditembak di daerah yang mematikan. Royan itu ditembak di bagian kepala sampai menembus otak,” kata Hendro. Ia mengatakan penembakan terjadi saat mahasiswa Trisakti menggelar unjuk rasa di kampus. Aksi berawal dari mimbar bebas serta aksi damai di dalam kampus sebelum akhirnya letupan senjata membuat mahasiswa berlarian.
Hendro mengatakan sebelum korban berjatuhan di Trisakti, gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi telah bergulir di sejumlah daerah. Bahkan, gerakan tersebut telah merenggut sejumlah nyawa.
“Sebelum Soeharto terpilih jadi Presiden pada Sidang Umum MPR 1997, gerakan mahasiswa sudah ada embrionya di daerah-daerah. Jauh sebelum 12 Mei 1998, mahasiswa UNS Solo sudah demo, begitu juga di Bogor dan Yogyakarta. Itu udah berdarah-darah,” katanya.
Lantas, seperti apa situasi di Kampus Trisakti saat itu dan bagaimana empat mahasiswa bisa tewas? Siapa pula dalang di balik kerusuhan 1998?
Yuk! Simak wawancara eksklusif IDN Times bersama pelaku sejarah sekaligus saksi hidup kerusuhan 12 Mei 1998.