Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)
Sangat penting. Perempuan, malah saya ikut mendorong sejak awal, perempuannya harus diperkuat.
Termasuk apa yang dialami oleh perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei '98 misalnya, apakah itu masuk?
Pertanyaannya begini, sejarah perempuan, kalau itu menjadi domain sejarawan, apa yang terjadi? Kita kan nggak pernah tahu, ada nggak fakta keras? Kalau itu ada, kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal, betul nggak ada perkosaan massal? Itu kata siapa? Itu nggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada. Nah, rumor-rumor seperti itu menurut saya tidak akan menyelesaikan.
Meskipun itu ada di tim pencari fakta juga yang pada saat itu dibentuk?
Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa. Dan tone-nya harus begitu.
Kalau mempersatukan, persatuan bangsa harusnya kan kita mesti jujur mengakui apa yang ada, kan?
Makanya kan perspektifnya perspektif Indonesia. Nah, apa yang dimaksud dengan jujur pada sejarah itu kan juga beda-beda. Tapi yang paling umum, yang paling lazim, yang tentu berdasarkan... apa namanya... kepentingan nasional kita, kan? Perspektif Indonesia itu adalah mempersatukan. Misalnya, dalam perspektif sejarah kolonial, kolonial historiografi... yang namanya...
Penjajahan?
Apa namanya... seperti Bung Tomo itu disebut ekstremis, disebut teroris. Bagi kita adalah pahlawan. Itu ekstremnya, ya. Belanda mengatakan...
Tan Malaka juga ya?
Oh, Tan Malaka. Semua, Soekarno, Hatta , semua itu ekstremis, teroris. Itu saya bisa tunjukkan.
Di mata penjajah? Ini yang akan didudukkan yang benar?
Di mata penjajah, yang benar juga tidak pernah ada namanya penjajahan. Bagi mereka, yang mereka lakukan di Hindia Belanda ini adalah modernisasi. Itu saya bisa tunjukkan di buku Sejarah Belanda, lima jilid, yang diterbitkan atau ditulis oleh Stapel. Jadi, perspektif kita adalah perspektif historiografi Indonesia, gitu. Jadi Indonesian centrist, ya, untuk kepentingan nasional kita.
Nah, in the spirit of persatuan, saya tahu karena pernah mendengar langsung dari Presiden Prabowo bagaimana Pak Prabowo itu ingin mempersatukan semuanya, karena apalagi bangsa ini sedang menghadapi masalah yang tidak mudah, ya. Kalau enggak bersatu, gimana kita bisa bersama-sama?
Nah, kemarin kan Ibu Mega di acara itu, yang Pak Menteri datang, misalnya, menyoal kenapa semua orang tidak pernah menyoal TAP MPRS yang membuat ayahnya, Presiden Sukarno, dijatuhkan. Apakah itu misalnya terkesan bahwa Bu Mega ingin supaya itu juga dibahas dalam buku sejarah ini sebagai bagian dari fakta sejarah versi keluarga Bung Karno? Misalnya, seperti itu gimana?
Itu kan ada perkembangan. Nanti tentu yang akan menulis ini kan para sejarawan. Misalnya ada TAP MPRS sebagai satu fakta. Kemudian bagaimana kemudian ada MPR mengambil satu keputusan. Itu kan menurut saya bagian dari fakta-fakta sejarah atau perjalanan.
Jadi Bang Menteri setuju kalau itu masuk?
Oh iya. Tapi kan bukan saya yang menulis, kan?
Tapi setuju gitu ya? Kalau itu karena mestinya buku sejarah ini lebih baik, lebih lengkap daripada yang sebelum-sebelumnya, kan?
Maka saya katakan ini tone-nya adalah tone yang positif. Kalau mau mencari-cari kesalahan, apa sih susahnya, Mbak? Iya, kan? Siapa sih yang enggak bisa mencari-cari kesalahan setiap orang, setiap pemimpin, kelemahan-kelemahannya?
Ya, tapi banyak juga yang mengatakan bahwa history itu selalu ditulis oleh sang pemenang, sehingga kemudian yang dimasukkan dalam sejarah termasuk buku sejarah... Kita mengalami, loh, trauma itu ketika kita harus menonton film G30S/PKI pada saat kita SD, ya, harus nonton.
Kenapa harus trauma?
Faktanya memang... Artinya, itu disuntikkan lewat sekolah, proses di sekolah. Iya, diwajibkan, ya. Dan kemudian itu baru berpikir bebas sesudah reformasi.
Kalau kita melihat, ada peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami setiap bangsa yang memang traumatik. Dalam persoalan komunisme itu mungkin traumatik karena memang ada upaya untuk melakukan kudeta , tahun '48, tahun '65. Ya itu kan jelas. Hampir semua sejarawan mengatakan itu. Nah, trauma-trauma itu bagi sejarah, ya kemudian jangan sampai ini terjadi lagi.
Di Jerman sampai hari ini, partai Nazi itu partai terlarang. Kalau misalnya Mbak Uni Lubis pakai lambang Nazi, langsung ditangkap oleh polisi. Di Eropa yang katanya paling demokratis. Wajar, biasa-biasa saja.
Nah, di buku sejarah ini yang beredar juga katanya selama reformasi itu sudah menjadi Gerakan 30 September. Sekarang kembali lagi ke balik seperti era Orde Baru, yaitu Gerakan 30 September, G30SPKI, ada kata "PKI"-nya muncul lagi. Benar nggak itu?
Memang. PKI kan melakukan pemberontakan. Coba bantah saya kalau tidak. Di mana yang tidak melakukan? Itu... saya ini mempelajari komunisme. Saya ini belajar Sastra Rusia.
Oh iya, benar ini, iya... sarjananya, kan?
Yang namanya revolusi itu rukun komunis. Memang kalau komunis itu harus mengambil alih kekuasaan. Itu di mana? Seluruh dunia begitu kok. Salahnya cuma satu, gagal dia. Itu aja.
Ini tadi dikatakan bahwa sesudah reformasi, sesudah yang fokus ke Pak Habibie itu, kemudian banyak yang belum tercatat. So, basically ‘98 reformasi itu juga dibahas signifikan dalam buku sejarah? Semua yang berkaitan dengan itu?
Saya enggak tahu. Iya. Saya belum tahu, tapi kan mereka sedang menulis nih ya, dan belum... kalau tidak salah masih 60 persen, nanti kita akan lihat setelah 70 persen gitu ya. Dan memang kan ini sudah dimulai waktu itu.
Termasuk Krismon?
Ya, Krismon (krisis moneter), dan bahkan pemilu saja yang pernah kita bahas itu di dalam buku sejarah yang dibuat oleh pemerintah. Nah, itu hanya pemilu '97. Pemilu '99 saja tidak ada.
Dan ini akan ada?
Harus ada. Harus ada, ya. Kan harus ada dong. '99 itu apa yang terjadi sebagai continuation — 2004 siapa pemenangnya, partainya bagaimana, 2009, dan seterusnya, gitu. Iya, sampai terakhir. Nah itu enggak pernah ada secara kronologikal. Ini kita tidak mencatatkan sejarah kita dengan benar, gitu ya.
Saya ingin pendapatnya Bang Menteri, ya. Karena ini memang ada otonomi daripada penulis yang profesor-profesor, guru besar, dan ahli. Tetapi pendapat Bang Menteri itu penting. Misalnya tadi, di era Gus Dur, apa yang paling penting dan harus ada dalam buku sejarah ini?
Toleransi, menurut saya. Pencapaian yang luar biasa. Gus Dur mendobrak sekat-sekat itu, karena mungkin kita masih trauma waktu itu. Lihat kan, ada konflik etnis, ada konflik agama yang cukup banyak memakan korban. Kita enggak bisa take it for granted, gitu loh. Ada ethnic conflict, ada religious conflict di beberapa tempat.
Dan bahwa di era Gus Dur kita memperingati Imlek?
Ya, itu salah satu intervensi yang saya kira sangat pas, gitu, sehingga ada merasa belongings kepada kita. Karena di beberapa saat, di beberapa zaman kan ada hal-hal yang tidak menguntungkan bagi etnis atau ras tertentu.
Bu Mega?
Ya, Bu Mega juga kan meneruskan dari apa yang diperjuangkan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya, walaupun jangka waktunya juga pendek. Saya kira pasti ada. Dan saya kira setiap presiden itu mempunyai kontribusinya yang besar. Nah, kita mau menonjolkan apa yang menjadi fokus, capaian-capaian.
Kalau, sekali lagi, kalau mau mencari titik lemah-titik lemah, ya banyak lah.
Jokowi? Apa menurut Pak Menteri?
Pak Jokowi bagaimanapun kan ada infrastruktur, ada pembangunan-pembangunan yang dilakukan, gitu ya. Di era Pak SBY juga banyak.
Pak SBY apa?
Ya, sama. Saya kira kan ada continuation juga dari pembangunan-pembangunan pada masa itu, ya, membuat demokrasi berjalan dengan relatif baik, terbuka. Kemudian terjadi institusionalisasi demokrasi dengan pemilihan langsung, ya, dan hal-hal lain. Itu pasti akan menjadi bahan dari para sejarawan. Saya sampai saat ini belum pernah bertemu dengan mereka, gitu ya.
Orang itu juga bertanya, Bang Menteri, ya. Misalnya, kayak bicara soal Orde Baru. Ini kan kebanyakan yang hidup sekarang ini kan mengenalnya era Orde Baru, ya. Begitu banyak karena Presiden Soeharto berkuasa 32 tahun. Misalnya, apa yang ditonjolkan di era Presiden Soeharto?
Oh, kalau di era Presiden Soeharto kan banyak sekali pencapaian. Di bidang ekonomi luar biasa. Di bidang pendidikan, di bidang kesehatan, diakui oleh dunia bahwa kita berhasil mengurangi angka kemiskinan absolut yang tadinya sangat mayoritas menjadi sangat kecil. Dari 75% bisa tinggal 11% dalam 20 tahun. Kemudian SD Inpres, Bimas, Inmas, ya, intervensi-intervensi kebijakan di zaman itu luar biasa.
Belum lagi kalau kita lihat dari peralihan yang tadinya inflasi sampai 650% menjadi terkendali, lalu pertumbuhan minus kalau tidak salah bisa double digit menjadi positif. Kemudian secara sustainable, pertumbuhan ekonomi kita bisa 6,7,8%.
Ya, kalau merebaknya KKN yang juga sangat jelas? Maksudnya kalau ini KKN itu kan... kalau kita cuma menulis yang positif-positif aja, itu juga menghindari dari kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah terjadi dalam sejarah?
Betul. Maksudnya pasti ada catatan-catatan dari para sejarawan juga. Tapi maksud saya yang kita tonjolkan tone-nya itu. Kalau kelemahan-kelemahannya, mesti mereka juga akan tulis. Tapi kalau misalnya KKN, apa sih yang tidak KKN sekarang? Pak Prabowo aja kesulitan sekarang untuk memberantas itu.
Kenapa?
Ya, karena semakin masif, semakin canggih.
Tapi kan itu janji kampanyenya. Pidatonya sampai sekarang aja kampanye terus.
Betul. Maksud saya dilakukan juga dengan sangat serius, gitu. Karena itu menjadi bagian dari kebocoran terhadap anggaran negara. Dan ini yang saya kira sangat serius. Jadi setiap waktu tuh selalu ada.
Nah, mungkin catatan-catatan itu saya tidak tahu, nanti para sejarawan juga melihat ada kelemahan-kelemahan di situ. Mungkin dari sisi hukum, ya, ada catatan dari KPK, dari kepolisian, dan lain-lain. Itu mungkin mereka tulis.
Kan saya baca statement Anda berkaitan dengan misalnya di era Ibu Megawati, diakui di situ dibentuk KPK ya? Dan itu memang sebuah terobosan, ya, sebuah terobosan pada saat itu. Tetapi habis itu KPK dilemahkan juga di eranya Presiden Jokowi ya, dengan revisi undang-undang?
Itu terserah nanti para sejarawan menulis lah. Artinya kan pasti itu menjadi catatan, apalagi kalau itu menjadi fakta, mestinya tidak ada masalah. Yang saya garis bawahi adalah jangan sampai apa yang memecah belah. Yang memecah belah itu misalnya soal suku, agama, kelas, golongan, itu menurut saya.
Tapi kayak peristiwa Tanjung Priok, itu kan kita mesti belajar dari sejarah supaya itu jangan sampai terjadi lagi?
Menurut saya itu fakta.
Ya kan? Poso Ambon, segala... iya, iya... masuk, ya? Masuk gitu?
Fakta kan itu. Tapi maksudnya bagaimana? Kita kan enggak mungkin menulis itu secara partisan. Pasti sejarawan juga harus punya wisdom.
Mereka nanti ada by line, ya? Setiap bab itu ada penulisnya langsung?
Saya belum tahu juga. Nanti kan ada editor.
Oh, itu policy (kebijakan) bukan dari kementerian?
Bukan. Nanti ada para penulisnya, nanti ada editor jilidnya, ada editor umumnya. Tapi, heeh... penulisnya di bab itu, ya, ada orang-orangnya.
Jadi langsung ada?
Ada.
Karena saya juga baca, ada profesor, ada ahli sejarah, misalnya yang diminta untuk menulis Papua dan dia menulis 40 halaman. Berarti nama dia akan ada di situ?
Mestinya begitu. Begitu ya. Mestinya dong.
Tapi Pak Menteri enggak rapat sama mereka ketika di awal gimana ini strukturnya, apa segala macam, ya?
Saya tidak mau intervensi. Saya diundang, tapi saya kebetulan juga tidak hadir, supaya masyarakat... saya memberikan kebebasan kepada para sejarawan untuk menulis. Apalagi ini kan masih dalam perjalanan. Nanti mungkin setelah 70% atau 80% kita bisa diskusi, dan bahkan kita ingin ada uji publik juga.
Dan gimana kalau nanti ternyata ada masuk, karena ini bagian yang penting banget, apalagi konteksnya sekarang juga menjadi sangat penting dan relevan, misalnya apakah nanti akan ada peristiwa di mana Pak Prabowo Subianto terlibat dengan penculikan aktivis?
Enggak pernah ada bukti juga.
Tapi itu, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) kan kemudian memutuskan bahwa itu dianggap bertanggung jawab sehingga mesti berhenti? Itu bukannya sebuah lembaga resmi di ABRI?
Bukan sebuah lembaga resmi. Maksudnya, yang menjadikan... apa namanya, Pak Prabowo diberhentikan juga bukan kasus itu. Coba diperiksa aja lagi, gitu ya, ketika itu, dan diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Habibie ketika itu. Dan itu bagian dari perjalanan.
Dan ini bagian dari sekuens ‘96 kemudian ‘97 yang lead to reformasi, karena kan itu kan tidak bisa dipisahkan dari semua yang terjadi?
Ya, itu kita sudah masuk kepada materi. Kalau saya, berpendapat bisa berbeda. Yang bisa men-trigger sampai terjadi reformasi itu adalah krisis moneter, krisis ekonomi, krisis yang kemudian menjadi krisis politik dan krisis multidimensi. Tapi itu kan pendapat pribadi saya.
Nah, itu tadi karena konteksnya itu tadi, history, sejarah ditulis biasanya oleh sang pemenang. Karena ketika Bongbong Marcos menjadi presiden, salah satu proyek yang dilakukan pertama kali oleh Wapres Sara Duterte yang pada saat itu merangkap sebagai Menteri Pendidikan adalah merevisi buku sejarah. Supaya lebih... apa namanya... favorable toward Marcos Senior, ya.
Sekarang pertanyaannya ke Mbak Uni Lubis. Kalau kita 26 tahun tidak menulis sejarah itu salah enggak?
Harus di-update, tetapi update-nya harusnya tidak tebang pilih.
Nah, makanya siapa yang harusnya menulis sejarah? Sejarawan, politisi, aktivis?
Sejarawan.
Artinya pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Kebudayaan, akan menerima saja apa pun yang ditulis oleh tim yang seratusan ahli sejarah ini?
Tentu yang tadi, ada batas-batas SARA dan lain-lain, ya. Kalau misalnya ditulis dalam satu peristiwa tertentu yang bisa men-trigger orang malah berantem gara-gara itu, iya kan? Misalnya etnik konflik atau religius konflik atau racial apa gitu, misalnya. Itu kan harus ada intervensi, ada wisdom di situ. Enggak bisa kita... Kita ingin sejarah kita ini menjadi satu narasi kolektif.
Pasti ada orang yang setuju dengan ini, ada yang kurang setuju dengan ini. Ada yang... ya, dalam berbagai peristiwa, apalagi kita ini 280 juta orang, gitu ya. Enggak mungkin kita 100% setuju. Enggak mungkin. Ya, Bu Mega juga bilang perbedaan ya. Dari sisi partai juga sudah berbeda. Ya, artinya makanya kita harus serahkan. Penulis sejarah itu pada sejarawan, bukan partisan.
Sesudah nanti itu, kan targetnya akan diluncurkan 17 Agustus ya? 80 tahun Indonesia merdeka?
Rencananya begitu, sebagai bagian dari kita merayakan kemerdekaan kita 80 tahun. Saya kira... dan ini kan cuma 10 jilid ya. Artinya lebih banyak highlight gitu loh ya. Kalau kita mau menuliskan secara detail, mungkin harusnya 100 jilid kali ya. Jadi ini highlight dari berbagai... Malah dulu kalau kita lihat 10 tahun Indonesia merdeka, 30 tahun Indonesia merdeka, 50 tahun, itu lebih banyak gambar-gambar tok gitu. Hanya nama dan peristiwa dan seterusnya.
Jadi kan ini ada Bang Marzuki Darusman dan teman-teman ya, yang juga menyampaikan dua hal ya berkaitan dengan ini. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, aksi yang mendatangi Komisi X DPR, menolak ya, menyampaikan penolakan terhadap revisi sejarah dengan alasan dua argumen utama. Yang pertama, pemakaian istilah “sejarah resmi” yang dinilai bermasalah. Tadi saya sudah tanya ya, tafsir tunggal yang nantinya dikhawatirkan menjadi dasar dan panduan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.
Kemudian yang kedua adalah sejarah yang disusun pemerintah dalam pemotongan merupakan sejarah yang selektif. Tadi kalau saya pakai istilah “tebang pilih” ya. Karena Pak Menteri dari tadi ngomongnya sesuatu yang pencapaian-pencapaian.
Iya, sekarang begini pertanyaannya, kita ini mau menulis sejarah apa? Jenderal Nasution menulis buku sejarah tentang pergerakan nasional 11 jilid sendirian. Itu sudah fokus. Kita mau bicara tentang apa? Sejarah tentang Pancasila, ya bicara tentang Pancasila panjang lebar. Bicara tentang HAM, panjang lebar. Itu baru namanya fokus. Ini kita bicara secara umum, Indonesia dari 1,8 juta tahun yang lalu sampai sekarang. Ya, artinya pencapaian termasuk di dalam peristiwa itu karena ada temuan situs Bongal, misalnya. Masuknya Islam ke Indonesia ya perlu kita koreksi. Di dalam sejarah kita dulu dibilangnya abad ke-13. Dan adanya situs Bongal dan temuan-temuan, termasuk di Sungai Musi dan lain-lain, koin-koin Umayyah, Abbasiyah. Islam di Indonesia ternyata lebih tepat masuknya itu pada abad ke-7, awal abad pertama Hijriah sudah ada kontak. Dan itu juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Buya Hamka dan tokoh-tokoh ulama, kiai dari NU, dari Muhammadiyah ketika itu di tahun ‘63. Tapi sekarang ditemukan situsnya yang menyatakan itu. Itu contoh lain. Jadi banyaklah temuan-temuan yang perlu di-update gitu.
Gimana respons dari Presiden Prabowo terhadap munculnya respons dan reaksi terhadap revisi sejarah ini?
Saya sendiri jadi belum berkonsultasi dengan Pak Prabowo dalam arti detail, secara umum aja. Malah Pak Prabowo berharap nanti kita akan menuliskan sejarah-sejarah yang lebih detail lagi, gitu ya. Banyak saya kira yang perlu kita tulis ya. Kemarin saya baru kedatangan, misalnya, Duta Besar Belanda, Direktur KITLV. Sejarah tentang sains saja dari masa Hindia Belanda itu belum pernah ada terjemahannya.
Di Indonesia, perkembangan sains?
Perkembangan yang apa yang ditulis oleh Rumphius, oleh Yung-Huhn, sampai ke Eijkman, itu enggak pernah ada. Padahal itu kan harusnya ada continuation. Walaupun itu periodik kolonial, tapi dalam sains, teknologi, dalam pangan, itu ada beberapa di dalam buku yang saya koleksi pun tentang hama-hama dan lainnya, sudah pernah diteliti dengan detail sekali. Itu contoh, ya.
Nah, ini pertanyaan terakhir. Dengan melihat bagaimana kepedulian dari masyarakat bahwa buku sejarah ini mestinya ditulis dengan komprehensif, dengan memperhatikan berbagai macam diversity, aspirasi termasuk soal perempuan, termasuk soal mungkin demokrasi, fact-checking terhadap tadi data-data yang disampaikan oleh Bang Menteri, apakah sesudah bukunya jadi atau sebelum diterbitkan, diresmikan di tanggal 17 akan dilakukan semacam uji publik atau baru uji publik sesudah diluncurkan?
Diuji publik, kan, sebelum.
Artinya segera nih, karena ini sudah bulan Juni?
Rencana kita, rencananya mungkin Juli ini.
Juli, ya? Uji publiknya gimana?
Uji publiknya dalam bentuk seminar. Kita undang pihak-pihak ini ya, dan ahli-ahli ini, nanti para sejarawan yang bicara, mereka yang menulis dan sebagainya. Rencananya, paling enggak, begitu. Ada mungkin di Barat, Tengah, Timur, gitu ya.
Jadi sebelum diterbitkan ya?
Rencananya begitu. Dan tentu kita juga akan mendengar lebih banyak masukan. Dan yang paling penting itu, kita memulai dan menjadikan sejarah itu penting kembali, gitu. Jangan sampai sejarah itu diolah hanya oleh sosial media yang kita enggak tahu kebenarannya, gitu. Jadi harus sejarawanlah yang punya otoritas, gitu ya. Saya kira kan kita di era modern ini, semuanya berbasis kepada kompetensi. Nah, kompetensi itu ya harus pada bidangnya. Kalau dokter ya dokterlah yang punya kompetensi. Ya, kalau insinyur ya insinyur, kalau sejarawan ya dialah yang tahu sejarah, gitu.
Kita menunggu nanti ya. Tapi saya setuju sih satu hal, Bang Menteri. Jadi gara-gara kontroversi ini, mudah-mudahan orang jadi peduli terhadap sejarah, ya?
Ada kesadaran sejarah, bahwa sejarah itu penting.
Iya, kesadaran penting bahwa sejarah harus ditampilkan apa adanya, sesuai dengan fakta. Dan kita berharap semoga para tim penulis, ahli-ahli sejarah ini memang menangkap aspirasi yang ada di masyarakat, lewat diskusi di media maupun sosial media, concern-nya, dan menghasilkan draf yang ya... termasuk nanti di proses uji publik, yang mudah-mudahan bisa memenuhi aspirasi tersebut, ya.
Iya, tentu.
Jadi, kita menunggu hasilnya. Terima kasih Bang Menteri yang sudah hadir di studio IDN Times. Sejarah itu adalah sesuatu hal yang mestinya memang kita sukai, kita pelajari, karena itu menggambarkan sebuah proses dari peradaban sebuah bangsa. Dan karena IDN Times ini media untuk millennial agency, berharap juga bahwa lain-lainnya agency itu makin senang ke museum, belajar sejarah, apa segalanya. Karena museum itu juga etalase, ya.
Pusat edukasi juga.
Sampai ketemu di program Uni Lubis berikutnya. Salam.