Jakarta, IDN Times - Evaluasi terhadap dua tahun kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin tengah menjadi sorotan publik. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat memasuki tahun kedua di periode kedua, penegakan hukum yang bersifat diskriminatif makin nyata terlihat.
Salah satu yang dilihat YLBHI yakni proses hukum justru berjalan terhadap kelompok oposisi atau pihak-pihak tertentu yang mengkritik pemerintah. Pembungkaman itu, dilakukan menggunakan tangan-tangan institusi kepolisian.
"Kepolisian menjadi salah satu institusi yang paling banyak disorot karena kecenderungannya sebagai 'bumper' kekuasaan untuk membungkam kritik. Mereka melakukan penangkapan sewenang-wenang dan tak sedikit yang dikriminalisasi," ujar Direktur YLBHI, Asfinawati dalam keterangan tertulis pada Jumat (22/10/2021).
Pernyataan itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Berdasarkan data yang dimiliki YLBHI pada 2019, ada 1.114 laporan berisi pengaduan penangkapan sewenang-wenang. Pada 2020, jumlah pengaduan melonjak menjadi 3.539.
Asfinawati juga mencatat diskriminasi penegakan hukum terlihat ketika polisi menangani kasus atau aduan yang melibatkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Laporan-laporan peretasan yang dialami oleh individu dan lembaga pers tidak berjalan. Padahal, aksi peretasan bukan termasuk delik aduan. Seharusnya, ketika sudah tersiar luas, kepolisian langsung turun tangan," kata dia.
Kondisi berbeda ketika menghadapi pihak yang mengkritik pemerintah. YLBHI mengambil contoh kasus yang dialami oleh Ravio Patra. Ia dijemput oleh pihak kepolisian pada April 2020 dengan tuduhan menyebarkan pesan bersifat provokatif untuk melakukan penjarahan.
"Ravio ditangkap dengan dasar laporan tipe A yakni yang dibuat oleh polisi sendiri (tanpa ada delik aduan)," ujarnya lagi.
Apa usulan dari YLBHI untuk perbaikan kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf di sisa tiga tahun ia menjabat?