Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kedua dari kiri) ketika berbicara di kantor YLBHI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kedua dari kiri) ketika berbicara di kantor YLBHI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Perkap Nomor 4 Tahun 2025 dianggap melampaui kewenangan polisi dan mengancam HAM

  • Aturan ini bertentangan dengan KUHAP dan peraturan Polri lain terkait penggunaan senjata api

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan Terhadap Kepolisian bermasalah dan mendesak Kapolri segera mencabutnya.

Menurut YLBHI, aturan ini tidak hanya menabrak prinsip negara hukum dan demokrasi dengan menyalahi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan serta prinsip hukum yang berlaku, tetapi juga menunjukkan kegagalan dan ketiadaan komitmen reformasi di tubuh internal kepolisian. Perkap tersebut diduga lahir sebagai sebagai reaksi cepat atas kerusuhan yang terjadi usai tragedi meninggalnya Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025.

“Hal ini, semestinya menjadi bagian dari hukum materiil maupun acara dengan level pengaturan Undang-Undang yang merupakan kewenangan DPR dan ptemerintah bukan kepolisian sendiri. Mengingat materi muatan peraturan Internal kepolisian semestinya hanya terbatas mengatur mengenai perihal administratif kepolisian (Pasal 15 Ayat 1e UU Kepolisian),” tulis YLBHI dalam keterangan persnya, Kamis (2/10/2025).

1. Melampaui kewenangan dan mengancam HAM

Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (pexels.com/RDNE Stock project)

YLBHI menilai, Perkap ini memberi legitimasi tambahan kewenangan bagi polisi, termasuk penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penggunaan senjata api tanpa izin pengadilan. Padahal, kewenangan tersebut semestinya diatur dalam undang-undang, bukan peraturan internal Polri.

“Peraturan yang diterbitkan Kapolri adalah level peraturan internal (Perkapolri), namun mengatur jauh mengenai legitimasi penambahan kewenangan untuk tindakan upaya paksa yang berdampak pada pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan tanpa izin pengadilan hingga justifikasi penggunaan senjata api menggunakan peluru karet atau tajam yang berisiko mengancam hak atas hidup sebagai hak asasi manusia,” demikian tulis YLBHI.


2. Bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku

ilustrasi aparat keamanan(pexels.com/Muhammad Renaldi)

YLBHI mengingatkan, aturan ini tidak merujuk bahkan bertentangan dengan KUHAP serta peraturan Polri lain, seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2009 dan Nomor 8 Tahun 2009, yang mengatur syarat ketat penggunaan senjata api. 

“Dengan Perkap baru ini, penggunaan senjata api, termasuk peluru tajam, justru dipermudah,” kata YLBHI.

3. Minim akuntabilitas dan berpotensi impunitas

ilustrasi aparat keamanan (pexels.com/Mathias Reding)

Menurut YLBHI Perkap tersebut tidak memiliki mekanisme pengawasan yang jelas, sehingga berpotensi menjadi pembenaran praktik kekerasan aparat. YLBHI mencatat sepanjang 2019–2024, terdapat 35 kasus penembakan oleh polisi dengan 94 korban jiwa yang dikhawatirkan akan terus berulang.

“Istilah tindakan, tindakan kepolisian, aksi penyerangan yang tidak jelas parameter dan akuntabilitasnya yang berdampak potensial ditafsirkan secara subyektif dan rentan praktik sewenang-wenang atau penyalahgunaan kewenangan untuk pembenaran terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian khususnya senjata api yanag mestinya menjadi pilihan tindakan paling akhir dengan situasi berbahaya,” ujar YLBHI.

Editorial Team