Ilustrasi rapat di Gedung DPR (IDN Times/Ilman Nafian)
Dalam pengesahan RUU Wantimpres pada 19 September lalu, DPR menyebut RUU tidak membutuhkan partisipasi atau suara rakyat karena hal ini berkaitan dengan kewenangan presiden.
"Hal ini adalah alasan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pembatasan kekuasaan berdasarkan hukum yang dibentuk secara demokratis," demikian tulis YLBHI dalam keterangannya, Minggu (22/9/2024).
YLBHI menilai, pengesahan UU Wantimpres yang tergesa-gesa dan tidak transparan ini merupakan salah satu bentuk melawan prinsip demokrasi Indonesia, yaitu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan karena itu rakyat berhak tahu setiap keputusan yang dibuat pemerintah.
Sebuah fakta menarik bahwa UU Wantimpres disusun hanya dalam waktu beberapa hari. Hal ini kemudian menjadi perdebatan bagi YLBHI yang memandang bahwa seharusnya DPR dan pemerintah mengutamakan revisi KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), UU PPRT (Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), UU Masyarakat Adat, atau UU Perampasan Aset yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan bukan untuk melayani kepentingan politik tertentu.
Selain itu, dengan wewenang penuh Presiden untuk menentukan jumlah menteri akan berdampak pada segala aspek, salah satunya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Artinya, Presiden dapat menentukan prioritas pengeluaran negara, yang pada akhirnya akan berdampak juga pada program pemerintah yang langsung menyentuh kehidupan rakyat.