Berbeda dengan Yusril, Menkum Pastikan Tak Ada Koruptor Terima Amnesti

Jakarta, IDN Times - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan tidak ada satupun narapidana kasus korupsi yang akan mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
Hal itu berbeda dari yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan (IMIP), Yusril Ihza Mahendra. Yusril mengatakan ada sejumlah napi kasus korupsi yang akan menerima amnesti atau pengampunan dari Prabowo.
Menurut Supratman, sebanyak 44 ribu penerima amnesti dari presiden berasal dari empat jenis tindak kejahatan.
"Pertama, (napi) kasus politik. Ini diterapkan kepada teman-teman di Papua yang dianggap makar, tetapi bukan gerakan bersenjata. Kedua, terkait orang yang sakit berkelanjutan. Mungkin karena dia mengalami gangguan kejiwaan atau penyakit yang sulit dilakukan penanganan di lapas kita. Terutama yang terkena HIV/AIDS," ujar Supratman ketika memberikan keterangan pers di Gedung Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Jumat (27/12/2024).
Jenis tindak kejahatan ketiga yang akan menerima amnesti dari presiden adalah orang-orang yang dibui dengan dasar hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Orang-orang yang akan menerima amnesti, katanya, diutamakan kepada terpidana yang dianggap menghina kepala negara.
"Jenis tindak kejahatan keempat adalah siapapun yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika atau psikotropika. Tetapi statusnya sebagai pengguna yang memang seharusnya tidak berada di lapas. Mereka seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk menjalani rehabilitasi," tutur dia.
1. Supratman pastikan pemberian amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi akan sesuai aturan
Lebih lanjut, Supratman mengatakan, hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari pernyataan Prabowo untuk memberikan amnesti bagi terpidana kasus korupsi seperti yang pernah disampaikannya di Kairo, Mesir.
Namun, kata dia, sesuai UUD 1945, presiden diberikan hak untuk mengeluarkan amnesti, abolisi, grasi, hingga rehabilitasi. Menteri dari Partai Gerindra itu pun memastikan rencana pemberian amnesti atau abolisi tetap bakal dilakukan sesuai prosedur.
"Presiden tidak bisa serta merta mengeluarkan grasi atau amnesti. Kalau mau mengeluarkan grasi, presiden harus meminta pertimbangan kepada Mahkamah Agung. Presiden juga tidak bisa serta merta mengeluarkan amnesti. Presiden wajib meminta pertimbangan DPR," kata Supratman ketika menjawab pertanyaan IDN Times.
Namun, ia masih menunggu kebijakan Prabowo, apakah akan menindak lanjuti untuk memberikan pengampunan bagi para terpidana kasus korupsi.
2. Bila Prabowo akan mengeluarkan kebijakan amnesti bagi koruptor maka tak bisa dijerat KUHP
Supratman juga merespons kritik yang disampaikan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. Dalam pernyataannya, Mahfud menyebut seandainya Prabowo memberi pengampunan bagi koruptor asal uang kerugian negara dikembalikan, maka dinilai bisa melanggar hukum.
Mahfud mewanti-wanti Prabowo bisa dijerat dengan Pasal 55 KUHP. Pasal itu mengatur soal penyertaan dalam tindak pidana.
"Jangan kemudian membenturkan seolah-olah presiden mengambil langkah itu (memberi amnesti bagi koruptor) kemudian dia dianggap turut serta menggunakan Pasal 55 di KUHP. Dari segi hierarki hukum kan sudah jelas. UUD memberikan kewenangan bagi presiden untuk melakukan empat hal tadi. Tanpa mengurangi kewenangan undang-undang di bawahnya," katanya.
3. Seandainya diberi pengampunan, tetap akan ada proses hukum kepada koruptor
Lebih lanjut, pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPR itu menyebut seandainya nanti kebijakan pengampunan diterapkan, lalu diikuti dengan proses hukum yang sangat keras kepada pelaku.
"Bahkan, Beliau sudah mewanti-wanti supaya jangan ada aparat penegak hukum untuk membekingi terhadap satu kasus tertentu. Kan clear pernyataan presiden seperti itu," katanya.
Di forum itu, Supratman juga menjelaskan pihaknya tengah menyiapkan rancangan undang-undang menyangkut grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ia menjanjikan bila drafnya telah selesai disusun Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, maka akan disampaikan kepada publik.
Sedangkan, Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej mengatakan, RUU menyangkut grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi ditargetkan akan rampung pada 2025. Sebab, itu merupakan turunan dari KUHP baru yang disahkan pada Januari 2023.