Pemandangan menarik tersaji di kawasan Masjid Sunan Ampel. Puluhan kepala menunduk, membaca doa-doa berbahasa Arab yang tertulis dalam buku yang mereka. Beberapa lainnya beribadah salat.
Sisanya tampak kelelahan dan memejamkan mata dengan alas seadanya, padahal lantai masjid cukup dingin. Berdasarkan penuturan Nasir, pengunjung makam dan masjid di Ampel membludak hingga puluhan ribu ketika 10 hari terakhir Ramadan, terutama ketika malam-malam ganjil menurut hitungan Islam.
Hampir tak tampak anak muda di dalam masjid. Namun, karena aku penasaran, aku mengobrol dengan salah seorang ibu yang datang sendiri ke masjid itu. Namanya Bu Meme. "Aku dari Jakarta," kata dia, memperkenalkan diri kepadaku.
Ia sengaja beribadah beberapa hari di Masjid Sunan Ampel di sela-sela waktu mengikuti kegiatan pesantren di Pondok Kedinding, Surabaya. "Ceramahnya di sini adem. Gak kayak di Jakarta yang isinya politik melulu," curhatnya.
ilustrasi Salat Isya. IDN Times/Reza Iqbal
Aku mendengar salat tarawih di Masjid Sunan Ampel mencapai 23 rakaat. Artinya, butuh waktu lebih dari 90 menit untuk menyelesaikannya. Ia sendiri berkata bahwa lelah itu pasti. "Terus kan kita selonjoran. Kalau ketiduran ya sebenarnya bukan mau kita sih. Namanya orang ibadah juga ada capeknya."
Saat aku hampir meninggalkan masjid, ada tiga anak kecil yang masuk. Mereka buru-buru menyiapkan sajadah dan memakai mukena. Rupanya ketiganya belum sempat melaksanakan salat Isya. Aku tak bisa mengobrol dengan mereka karena harus melanjutkan eksplorasi.