IHR melaporkan, otoritas Iran telah mengumumkan hukuman kepada 100 tahanan. Namun, vonis dijatuhkan saat mereka tidak diberikan akses pengadilan yang adil, dilansir BBC.
"Dalam kasus di mana mereka berhasil melakukan kontak, atau rincian kasus mereka (telah) dilaporkan oleh teman satu sel dan pembela hak asasi manusia, semua telah mengalami penyiksaan fisik dan mental untuk memaksakan pengakuan palsu yang memberatkan diri," kata laporan IHR.
Salah satu dari mereka yang menghadapi eksekusi adalah Mohammad Ghobadlou, yang hukuman matinya dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada Sabtu (24/12/2022).
Ghobadlou dihukum karena "permusuhan terhadap Tuhan" setelah dituduh mengemudi ke sekelompok polisi selama protes di Teheran pada bulan September, yang menewaskan satu polisi.
Ibu dari Ghobadlou mengatakan, putranya menderita gangguan bipolar. Vonis mati kepadanya adalah keputusan yang tergesa-gesa pada sesi pertama persidangan tanpa kehadiran pengacara pilihannya.
Tindakan itu telah ditanggapi oleh Amnesty Internasional, yang prihatin bahwa dia menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan buruk dalam tahanan. Laporan forensik menunjukkan memar dan luka di lengan, siku, dan tulang belikatnya.
Tahanan yang diidentifikasi IHR terancam hukuman mati, termasuk lima wanita, salah satunya adalah Mojgan Kavousi. Dia merupakan guru bahasa Kurdi dan pembela hak asasi manusia yang didakwa dengan "korupsi di Bumi". Jaksa menuduh Kavousi memprovokasi orang untuk melakukan kebobrokan melalui unggahan di media sosial.
"Dengan menjatuhkan hukuman mati dan mengeksekusi sebagian dari mereka, mereka (otoritas) ingin membuat orang pulang. Itu berpengaruh, tetapi apa yang kami amati secara umum adalah lebih banyak kemarahan terhadap pihak berwenang," kata Mahmood Amiry-Moghaddam, direktur IHR.