Melansir Reuters, keempatnya dijatuhi hukuman mati pada Januari dalam sidang tertutup. Mereka dituduh membantu milisi untuk melawan tentara yang merebut kekuasaaan saat kudeta 2021.
Dua pakar dari PBB menyebut bahwa eksekusi yang direncanakan itu merupakan upaya keji untuk menanamkan rasa takut di antara masyarakat Myanmar.
Upaya kekerasan brutal dilakukan junta Myanmar untuk meredam protes terhadap kudeta sebelumnya. Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, sebanyak 2.100 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta.
Laporan lain dari AAPP menyatakan, eksekusi yudisial terakhir di Myanmar terjadi pada akhir 1980-an.
Pelapor PBB khusus Myanmar, Tom Andrews, mengatakan bahwa dirinya geram atas eksekusi yang dilakukan junta Militer. Dia mengatakan bahwa "tindakan bejat ini harus menjadi titik balik bagi masyarakat internasional".
Juru bicara pemerintah bayangan Myanmar atau National Unity Government mengatakan, anggota pemerintah di pengasingan sangat sedih dan mengutuk kekejaman itu. Pihaknya menegaskan bahwa komunitas global harus menghukum kekejaman yang dilakukan junta Militer
Analis International Crisis Group Myanmar, Richard Horsey, mengatakan bahwa setiap kudeta yang bertujuan untuk mengakhiri krisis, kini telah diberantas oleh rezim.
"Junta Myanmar melihat ini sebagai demonstrasi kekuatan, tapi mungkin salah perhitungan yang serius," kata Horsey.