5 Fakta Pembakaran Hutan di Papua Seluas Seoul oleh Perusahaan Korsel

Jakarta, IDN Times - Investigasi bersama yang dilakukan oleh Greenpeace International dan Forensic Architecture mengungkap kasus pembakaran hutan di Boven Digoel, Papua dengan sengaja untuk membuka area perkebunan kelapa sawit. Investigasi inovatif itu menemukan bukti perusahaan asal Korea Selatan, Korindo, telah menghancurkan sekitar 57 ribu hektare hutan di Papua sejak 2001 lalu. Bila dibandingkan, maka area hutan yang sudah dibabat seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 14 November 2020, Greenpeace International mengatakan Forensic Architecture yang berbasis di Goldsmith, Inggris menggunakan citra satelit NASA untuk mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran yang terjadi di salah satu konsesi Korindo yang berlokasi di Merauke, Papua. Mereka ingin memastikan apakah titik panas tersebut bersumber dari api.
Mereka kemudian membandingkan citra satelit itu dengan data titik api dari satelit NASA di area yang sama. Kemudian, peneliti menggabungkan keduanya pada periode waktu yang sama pada 2011 hingga 2016.
"Kami menemukan bahwa pola, arah, dan kecepatan pergerakan api sangat cocok dengan pola, kecepatan, dan arah pembukaan lahan. Ini menunjukkan bahwa kebakaran dilakukan dengan sengaja," ungkap peneliti senior Forensic Architecture, Samaneh Moafi.
"Bila kebakaran terjadi dari luar sisi konsesi atau karena kondisi cuaca, maka api akan bergerak dengan arah yang berbeda. Mereka akan tersebar," tutur Moafi lagi seperti dikutip dari stasiun berita BBC, media pertama yang menerbitkan hasil investigasi itu.
Bagaimana awal mulanya, PT Korindo Group diberikan konsensi lahan hutan sedemikian luas? Apa tanggapan Kementerian Lingkungan Hidup mengenai pembakaran lahan hutan seluas area ibu kota Seoul tersebut?
1. Warga lokal Papua dibujuk oleh PT Korindo Group agar mau melepas hutan adat dengan biaya ganti rugi Rp100 ribu per hektarenya
Investigasi yang dilakukan oleh Greenpeace International dengan Forensic Architecture meski sudah dilakukan tujuh tahun lalu, namun tetap membuat publik geram ketika membaca laporannya tahun ini. Betapa tidak, sebab, biaya ganti rugi yang diberikan oleh anak usaha PT Korindo Group yakni, PT Tunas Sawa Erma POP-E hanya Rp100 ribu per hektarnya.
Pada 2015 lalu, pemilik ulayat bersedia melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi yang terlalu rendah itu. Alhasil, kini lebih dari 19 ribu hektare hutan di Papua dikuasai oleh PT Tunas Sawa Erma POP-E.
Cerita itu disampaikan oleh ketua marga dari Suku Mandobo, Petrus Kinggo. Ia mengaku menyesal karena pada 2014 telah melakukan hal yang mengubah nasib marganya selamanya.
Ia mengaku turut memuluskan langkah Korindo melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel. Petrus menjadi 'koordinator bagi 10 marga yang hutan adatnya menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE). Ia mengaku turut mempengaruhi marga-marga lain agar mau melepas hutan adat mereka.
Ia bersedia melakukan hal itu karena diiming-imingi honor dari PT TSE. "Bapak, nanti akan kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator, nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan. Nanti, ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih dan (nanti) ada genset," ungkap Petrus menirukan janji manis PT TSE ketika itu.
Namun, janji itu hanya diucapkan secara verbal dan tidak dituangkan dalam kesepakatan tertulis. Tetapi, ia tetap memperoleh uang senilai Rp488,5 juta karena dapat melepas hak atas tanah hutan adat milik marga Kinggo seluas 4.885 hektare.
Ia juga mengatakan PT Korindo turut menggelontorkan uang senilai Rp1 miliar yang dianggap sebagai "uang permisi." Duit itu akhirnya dibagi kepada 9 marga. Satu marga lainnya menolak menerima.
Petrus sendiri mengaku hanya mengantongi Rp10 juta yang ia gunakan untuk membiayai pendidikan 8 anaknya.
"Uangnya su tidak ada. Kosong," kata dia lagi.