Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251022-WA0016.jpg
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (22/10/2025) (Youtube.com/Sekretariat Presiden)

Intinya sih...

  • Afrika Selatan tetap dorong agenda iklim dan utang negara miskin

  • Pemimpin dunia soroti peran AS yang minim

  • Kontroversi serah terima Presidensi G20

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyatakan, deklarasi yang disepakati dalam KTT G20 akhir pekan lalu mencerminkan komitmen baru terhadap kerja sama multilateral. Pernyataan itu ia sampaikan pada penutupan forum yang untuk pertama kalinya digelar di benua Afrika.

Ramaphosa menegaskan, dokumen akhir tersebut berhasil melampaui perbedaan posisi politik yang menonjol sepanjang pertemuan. “Tujuan bersama kita lebih besar daripada perbedaan yang ada,” ujarnya, dilansir dari CNN, Senin (24/11/2025).

KTT ini sempat diwarnai ketegangan diplomatik dengan Amerika Serikat, setelah Presiden Donald Trump memutuskan untuk memboikot pertemuan pada 22–23 November. Washington menuding pemerintah Afrika Selatan melakukan diskriminasi terhadap minoritas kulit putih—klaim yang sebelumnya telah dibantah secara luas.

Meski demikian, para pemimpin yang hadir tetap mencapai konsensus atas sejumlah isu global, sementara Argentina satu-satunya negara yang tidak menyatakan keberatan tetapi juga tidak ikut mendukung dokumen secara penuh.

1. Afrika Selatan tetap dorong agenda iklim dan utang negara miskin

Bendera Afrika Selatan. (unsplash.com/kathrineheigan)

Boikot AS terhadap KTT G20 di Johannesburg berakar dari dua isu utama, tuduhan perlakuan tidak adil terhadap warga kulit putih di Afrika Selatan dan penolakan Trump terhadap agenda transisi energi bersih yang diusung tuan rumah.

Ramaphosa tetap mendorong tercapainya kesepakatan yang mencakup adaptasi perubahan iklim, restrukturisasi utang negara berkembang, dan dukungan terhadap energi terbarukan.

Deklarasi final G20 memuat bahasa yang selama ini ditolak pemerintahan Trump, termasuk penegasan mengenai seriusnya krisis iklim serta perlunya target energi terbarukan yang lebih ambisius. Dokumen itu juga menyoroti besarnya beban pembayaran utang negara berpendapatan rendah.

Kesepakatan tersebut keluar di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat akibat perang Rusia–Ukraina serta kegagalan pembicaraan iklim COP30 di Brasil untuk menyebutkan kontribusi bahan bakar fosil dalam memperburuk krisis.

2. Pemimpin dunia soroti peran AS yang minim

Sejumlah pemimpin menilai absennya AS dalam KTT kali ini menunjukkan berkurangnya peran Washington dalam arsitektur multilateral. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan bahwa KTT G20 dan COP30 menunjukkan multilateralisme masih sangat hidup.

Kanselir Jerman Friedrich Merz menilai AS hanya disebut sekilas dan memainkan peran kecil dalam pertemuan Johannesburg. Ia menilai keputusan Washington untuk tidak hadir bukan langkah baik, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintahan Trump sendiri.

Dalam waktu dekat, AS seharusnya menerima estafet kepemimpinan G20. Namun, ketidakhadiran Trump memicu perselisihan tambahan terkait mekanisme serah terima presidensi forum.

3. Kontroversi serah terima Presidensi G20

Afrika Selatan menolak usulan AS untuk mengirim pejabat kedutaan sebagai wakil Trump dalam serah terima, karena dianggap tidak sesuai protokol. Gedung Putih menuding Pretoria tidak memfasilitasi proses transisi dengan baik, tetapi Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Ronald Lamola mengatakan belum ada komunikasi formal dari Washington.

“Kami tetap terbuka. Itu keputusan mereka,” ujarnya.

Lamola menyebut dicantumkannya kebutuhan pendanaan iklim bagi negara berkembang dalam deklarasi merupakan pencapaian penting. Selain kesepakatan tersebut, para pemimpin dunia menggunakan forum ini untuk membahas perkembangan perang Rusia–Ukraina serta proposal Trump terkait penyelesaian konflik tersebut dalam pertemuan bilateral di sela-sela KTT.

Editorial Team