Kerusuhan di Mali dimulai bersamaan dengan pemberontakan etnis Tuareg yang menuntut pemerintahan sendiri di bagian utara negara itu pada 2012. Prancis telah mengirim pasukannya dan berhasil memukul mundur pemberontak, tetapi mereka berkumpul kembali dan memperluas ke pusat negara pada 2015.
Kegagalan pemerintah mengatasi pemberontakan telah memicu militer melakukan kudeta terhadap presiden terpilih, Ibrahim Boubacar Keita, pada Agustus 2020. Junta yang dipimpin oleh Kolonel Assimi Goita memiliki hubungan yang tegang dengan masyarakat internasional dan membatasi kemampuan misi perdamaian untuk beroperasi.
Dalam memerangi pemberontak, junta telah menjalin kerja sama dengan Rusia, membawa paramiliter dan peralatan Rusia. Sebelumnya, Mali bekerja sama dengan Prancis, tapi hubungan telah memburuk. Prancis pada tahun lalu menarik pasukan terakhirnya dari Mali yang dikerahkan di bawah pasukan anti-jihadis Barkhane yang telah lama beroperasi di Sahel.
Tinjauan internal misi pada Januari mengatakan pembatasan yang diberlakukan oleh junta telah membuat personel menghadapi risiko keamanan. Mali berisiko kehilangan 2.250 pasukan perdamaian.
Negara-negara seperti Benin, Jerman, Swedia, Pantai Gading, dan Inggris telah mengumumkan penarikan pasukan, menurut International Crisis Group.