Kanselir Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun
Menurut Saad, solusi dari persoalan ini terletak pada sharing burden atau berbagi beban di antara negara-negara. Konsep tersebut sudah ada di dalam Bali Process, sebuah forum kerja sama khusus untuk membahas penyelundupan orang, perdagangan manusia serta kejahatan transnasional, yang dipimpin oleh Indonesia dan Australia.
Sejak krisis pengungsi di Australia pada pertengahan 2000, Bali Process banyak menyinggung soal pengungsi. Namun, forum yang juga diikuti oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik itu bernasib seperti hidup segan, mati tak mau. Saad menilai ini waktunya Indonesia dan Australia sebagai co-chairs Bali Process untuk turun tangan.
Amnesty sendiri mengatakan ada kurang lebih 10.000 pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di laut di tengah pandemik COVID-19. Muncul laporan ada dua kapal yang berada di pesisir Aceh, walau pemerintah Indonesia belum mengungkap kebenarannya.
"Indonesia dan Australia sebagai co-chairs Bali Process harus mengadakan pertemuan darurat dengan seluruh negara anggota Bali Process dan mempertimbangkan situasi darurat ini, krisis yang muncul dari Rohingya yang terapung di lautan, serta memastikan bahwa mereka bisa turun dari kapal dengan selamat," tegas Saad.
"Tidak seharusnya ini menjadi tanggung jawab Bangladesh sendiri, melihat mereka telah mengakomodasi hampir satu juta pengungsi Rohingya dan bahwa mayoritas orang Rohingya sekarang ada di Bangladesh," tambahnya.